top of page

Saat Terinfeksi Virus!, Bukan Hanya Manusia, Hewan juga Lakukan Social Distancing


Koordinatberita.com| OPINI~ Tak heran, bila menusia melakukan Social Distancing, karena manusia suatu Makhluk yang diciptakan oleh yang maha tinggi ini dengan dilengkapi insting, naluri dan akal. Sedangkan hewan saja yang hanya di lengkapi naluri bisa melakukan jaga jarak dengan koloninya. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh beberapa ilmuan yakni Joseph Kiesecker, seorang ilmuwan terkemuka di The Nature Conservancy atau yang lainnya.


Saat ini banyak negara yang terdampak pandemi virus corona menerapkan kebijakan social distancing demi mencegah penyebaran COVID-19 yang lebih luas. China, Italia, Amerika Serikat, termasuk jutaan orang Indonesia, diperintahkan oleh otoritas masing-masing untuk berdiam di rumah selama pandemi ini belum berakhir.

Bagaimanapun, pembatasan jarak sosial atau social distancing bukanlah konsep baru di dunia ini, terutama di alam liar, di mana penyakit menular telah biasa terjadi. Bahkan, beberapa spesies akan secara tegas mengeluarkan anggota dalam komunitas mereka, jika terinfeksi patogen.


Tindakan tersebut sangat menantang karena, menurut Joseph Kiesecker, seorang ilmuwan terkemuka di The Nature Conservancy, spesies yang terinfeksi tidak selalu "mudah dilihat". Beberapa spesies menggunakan indera khusus, yang membuat mereka dapat mendeteksi penyakit tertentu--terkadang sebelum gejalanya terlihat-- dan mengubah perilaku mereka untuk menghindari sakit. Contohnya lebah madu dan simpanse bisa menjadi kejam ketika terpaksa harus mengusir rekannya yang sakit.

Dalam kasus lebah madu, ketika bakteri penyakit american foulbrood menyerang koloni, maka dampaknya bisa sangat merusak. Penyakit ini sanggup mencairkan larva lebah madu dari dalam.


"Dari situlah 'kebusukan' berasal, larva lengket yang berwarna coklat. Baunya sangat, sangat busuk,” ungkap Alison McAfee, pascadoktoral dari Departemen Entomologi dan Patologi Tanaman di North Carolina University.

Larva yang terinfeksi memancarkan bahan kimia tertentu yang dapat tercium oleh lebah tua, seperti asam oleat dan β-ocimene (feromon lebah). Setelah diidentifikasi, lebah dewasa akan membuang anggota yang sakit itu dari sarangnya.


Karena tindakan adaptasi berevolusi ini melindungi kesehatan sebuah koloni, para peternak lebah dan peneliti di Amerika pun telah secara selektif membiakkan perilaku ini selama beberapa dekade. Alhasil, lebah yang lebih “higienis” sekarang berdengung di seluruh Amerika.

Simpanse juga tak jauh berbeda dengan lebah dalam menegakkan pembatasan sosial. Pada 1966, ketika mempelajari simpanse di Taman Nasional Gombe Stream, Tanzania, Jane Goodall mengamati seekor simpanse bernama McGregor yang tertular polio, yang disebabkan oleh virus yang sangat menular. Simpanse lainnya kemudian menyerang McGregor dan mengusirnya hingga keluar dari koloni.


Goodall sendiri adalah peneliti simpanse. Dalam satu contoh lain, simpanse yang lumpuh sebagian pernah mendekati kawanan simpanse lain yang sedang berkumpul di satu pohon. Simpanse lumpuh ini kelaparan akibat pembatasan sosial, dia mengulurkan tangan untuk memberi salam, tetapi kawanannya pergi tanpa melihat ke belakang, seperti dilaporkan dalam National Geographic.


"Selama dua menit penuh McGregor duduk tak bergerak, menatap mereka," tulis Goodall dalam bukunya ‘1971 In the Shadow of Man’. "Ini benar-benar tidak berbeda dengan bagaimana beberapa masyarakat hari ini bereaksi terhadap tragedi semacam itu," tuturnya, kepada surat kabar Sun Sentinel, pada 1985, dilansir National Geographic.


Selama penelitiannya, Goodall mencatat contoh-contoh lain simpanse yang dikucilkan akibat menderita polio. Dalam beberapa kasus yang jarang terjadi, individu yang terinfeksi akhirnya disambut kembali ke dalam kelompok.

Seperti manusia, simpanse adalah makhluk visual, dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa stigma awal terhadap simpanse yang terinfeksi polio mungkin didorong oleh rasa takut dan jijik terhadap kondisi cacatnya.


Kemungkinan tindakan ini juga merupakan bagian dari strategi untuk menghindari tertular penyakit yang menyebabkan deformasi serupa.

Tidak semua hewan bertindak seperti lebah madu dan simpanse. Tidak semuanya begitu agresif terhadap rekannya yang sakit. Kadang-kadang, secara alami hewan hanya menghindar, sesederhana manusia menghindari orang-orang yang dapat menginfeksi COVID-19 pada saat ini.


Dalam eksperimennya pada akhir 1990-an, Joseph Kiesecker menemukan bahwa berudu katak Amerika tidak hanya dapat mendeteksi infeksi ragi yang mematikan pada berudu lain, tetapi anggota yang sehat juga secara aktif menghindari yang sakit. Sama seperti lebah madu, berudu mengandalkan sinyal bahan kimia untuk menentukan siapa yang sakit atau tidak.

Sementara lobster karibia berduri, menghindari anggota komunitas mereka yang sakit, jauh sebelum munculnya potensi menular. Biasanya butuh waktu sekitar delapan minggu bagi lobster yang terinfeksi virus mematikan panulirus argus untuk menjadi penular. Sebagaimana perilaku hewan berkelompok, lobster lain pun mulai menghindari penyakit sedini mungkin, ketika mereka bisa mencium bau bahan kimia tertentu yang dikeluarkan oleh yang sakit, sekitar empat minggu setelah infeksi.


Pembatasan Sosial: Sifat Alami Makhluk Hidup


Ketika membahas perihal kawin, banyak spesies akan sangat pilih-pilih dalam menentukan pasangan yang sehat. Misalnya, tikus rumah betina, dengan mencium bau dapat menentukan apakah pasangan potensialnya terinfeksi penyakit. Jika tikus betina mencium infeksi parasit dalam urine pejantan, menurut para peneliti di University of Western Ontario, ia kemungkinan akan berpindah ke pasangan lain yang lebih sehat.

Senasib dengan pejantan tikus rumahan, ikan gupi jantan juga menerima pengawasan yang ketat dari pasangan potensial. Ikan betina secara luar biasa lebih suka pasangan yang bebas parasit. Para betina memperhatikan infeksi dari kombinasi petunjuk visual, seperti dari sirip yang terjepit, dan dari bahan kimia tertentu yang dilepaskan dari kulit terinfeksi. Secara keseluruhan, penting untuk dicatat, bahwa tidak seperti manusia, hewan terkadang tidak menyadari saat ada rekannya yang tertular penyakit. Ini bisa meningkatkan risiko penularan ketika hewan sakit masih berkeliaran di antara koloninya.


"Jika mereka tinggal di rumah, mereka mungkin benar-benar mengurangi tingkat penularan. Sebagai manusia, kita memiliki kemampuan itu. Inilah perbedaan besarnya," tegas Kiesecker.@_Koordinatberita.com/Sumber: Kumparan

19 tampilan

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page