"Pengamat: Suap Hakim Agung di MA Sistemik, Tak Bisa Disebut Oknum"
KOORDINATBERITA.COM - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman meminta pimpinan Mahkamah Agung (MA) mengundurkan diri sebagai buntut kasus suap hakim agung.
Menurut Zaenur, kasus suap yang menjerat Sudrajad Dimyati dan hakim agung lain serta sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) di lembaga peradilan itu bersifat sistemik. Persoalan ini disebut menjadi penyakit kronis di tubuh MA.
“Para pimpinannya (MA) harus mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban,” kata Zaenur.
Dosen Fakultas Hukum UGM ini menilai di Indonesia harus terdapat standar dan kebiasaan baru, yakni pimpinan harus bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan bawahannya.
Baca juga: Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro mengatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya ke KPK. Ia meyakini KPK lebih mengetahui dugaan suap yang menjerat Gazalba.
“Selanjutnya adalah MA harus melakukan pembenahan internal secara mendasar, jangan lip service saja,” desak Zaenur.
Zaenur mendorong agar MA membersihkan anggotanya yang selama ini bermain praktik suap, melakukan pengawasan secara ketat, serta membuka pengaduan untuk masyarakat.
Pengaduan dimaksud adalah ketika masyarakat menerima perlakuan tidak wajar terkait proses peradilan yang ditempuh. Hal ini seperti adanya putusan hakim yang dinilai tidak masuk akal.
“Misalnya sebagai pihak yang berperkara di MA dan badan peradilan di bawahnya. Itu biasanya kalau perkara-perkara tidak wajar juga karena faktor suap,” tutur Zaenur.
Baca juga: "Pembinaan karakter dari para hakim sangat penting. Bagaimana agar supaya memiliki karakter yang jujur, berintegritas. Sekarang ini bukan ilmu yang menjadi masalah, tapi kurang kejujuran, kejujuran yang tidak ada," ujar Harifin Tumpa, yang menjadi Ketua MA pada 2009-2012.
MA juga diminta melakukan perubahan secara mendasar terkait budaya kerja dan tidak menoleransi perbuatan gratifikasi dan suap.
Siapa saja yang melakukan gratifikasi dan suap, kata Zaenur, harus diberi sanksi tegas.
“Jangan alergi terhadap pengawasan dari eksternal khususnya Komisi Yudisial,” kata Zaenur.
Pengamat: Suap Hakim Agung di MA Sistemik, Tak Bisa Disebut Oknum
Zaenur mengatakan, kasus ini tidak bisa dipersempit hanya menjadi perbuatan pidana yang dilakukan oleh oknum.
Baca juga: “Membeli putusan, ya sangat mungkin modusnya adalah membeli jumlah mayoritas hakim, setidak-tidaknya dua dari tiga yang dibeli gitu ya,” kata Zaenur. Jumat (11/11/2022).
“Ini tidak boleh dilokalisir menjadi persoalan oknum, hanya persoalan pribadi, tidak,” kata Zaenur.
Menurut Zaenur, kasus suap pengurusan kasasi itu merupakan persoalan sistemik judicial corruption atau korupsi peradilan. Pasalnya, jual beli perkara ini dilakukan secara berjejaring di internal MA.
Perbuatan pidana itu diorganisir oleh sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) di MA di berbagai jenjang, mulai tingkat bawah dan mengalir hingga Hakim Agung.
Selain itu, Zaenur juga menyoroti jumlah suap yang diterima PNS di MA (bukan hakim) yang nilainya lebih besar dari Hakim Agung.
Oleh karenanya, ia menilai bahwa kerusakan di internal MA sudah terjadi secara sistemik.
Baca juga: "Sehubungan dengan ditetapkannya GZ sebagai tersangka tentu KPK yang lebih mengetahui, sebab untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka harus memenuhi minimal dua alat bukti yang sah," kata jubir MA, Andi Samsan Nganro kepada wartawan, Jumat (11/11/2022).
“Tidak bisa ini dianggap perbuatan pribadi dari para pelaku, tidak,” ujar Zaenur.
Dosen Fakultas UGM itu menilai, kasus suap Hakim Agung di MA ini merupakan bentuk kegagalan pengawasan dan pembinaan di lembaga peradilan.
Zaenur menyakini, praktek suap pengurusan perkara di MA itu telah berlangsung bertahun-tahun. Sementara kasus suap Sudrajad Dimyati hanyalah fenomena puncak gunung es.
Ia menduga, praktik suap jual beli perkara itu tidak hanya terjadi di MA. Kasus serupa juga ditemukan di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Sebagaimana, pernah dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Jadi, menurut saya, institusi peradilan, Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya itu mengalami situasi kronis yang belum sembuh dari penyakit korupsi,” ujar Zaenur.
Sebagaimana diketahui, KPK melakukan tangkap tangan terhadap hakim yustisial MA, Elly Tri Pangestu, sejumlah aparatur sipil negara (ASN) di MA, pengacara, dan pihak Koperasi Simpan Pinjam Intidana.
Mereka diduga melakukan suap terkait pengurusan perkara kasasi Intidana di MA.
Setelah dilakukan gelar perkara, KPK menetapkan 10 orang tersangka dalam perkara ini.
Mereka adalah Sudrajad Dimyati, panitera pengganti MA Elly Tri Pangesti, PNS kepaniteraan MA Desy Yustria dan Muhajir Habibie, serta PNS MA Albasri dan Nuryanto Akmal. Mereka ditetapkan sebagai penerima suap.
Sementara itu, tersangka pemberi suapnya adalah Yosep Parera dan Eko Suparno selaku advokat, serta Heryanto dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID).
Tidak terjaring operasi tangkap tangan, Sudrajad Dimyati kemudian mendatangi gedung Merah Putih KPK pada hari berikutnya. Setelah menjalani pemeriksaan, ia langsung ditahan.
Belakang, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengumumkan tersangka kasus tersebut bertambah. Salah satu di antaranya merupakan Hakim Agung.
"Memang secara resmi kami belum mengumumkan siapa saja yang telah ditetapkan sebagai tersangka baru dalam proses penyidikan, tapi satu di antaranya kami mengonfirmasi betul hakim agung di Mahkamah Agung," kata Ali.
Ali Fikri juga mengungkapkan, Hakim Agung yang ditetapkan sebagai tersangka pernah menjalani pemeriksaan di KPK.
Berdasarkan catatan Koordinatberita.com, di antara belasan saksi yang telah dipanggil, mulai dari staf hingga Sekretaris MA Hasbi Hasan, satu-satunya Hakim Agung yang dipanggil adalah Gazalba Saleh.
Gazalba Saleh dipanggil untuk menjalani pemeriksaan oleh penyidik pada 27 Oktober 2022.@_Redaksi
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Koordinatberita.com.
Comments