top of page
Gambar penulisredaksikoordinatberita

Penjelasan Buya Yahya Soal 9 Orang yang Boleh Tidak Puasa Ramadhan, Nomor 6,7 dan 8 untuk Wanita


Allah SWT mewajibkan puasa bagi orang yang mampu melakukannya. Namun ternyata, ada sembilan kategori orang yang tidak diwajibkan puasa saat bulan Ramadhan.
Allah SWT mewajibkan puasa bagi orang yang mampu melakukannya. Namun ternyata, ada sembilan kategori orang yang tidak diwajibkan puasa saat bulan Ramadhan.

KOORDINATBERITA.COM| Surabaya - Buya Yahya ungkap sembilan orang yang boleh tidak puasa Ramadhan. Pada bulan Ramadhan, puasa adalah kewajiban bagi umat Islam selama satu bulan penuh.


Allah SWT mewajibkan puasa bagi orang yang mampu melakukannya. Namun ternyata, ada sembilan kategori orang yang tidak diwajibkan puasa saat bulan Ramadhan.


Seperti kita ketahui, Syariat Islam memberi berbagai kemudahan kepada umat muslim untuk mengerjakan amal ibadah yang diperintah Allah SWT dan Nabi SAW.


Misalnya, ketika melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, ada sejumlah golongan yang boleh tidak puasa tetapi wajib mengqadanya di lain waktu. Siapa saja golongan ini?


Dari laman resmi Buya Yahya, Sabtu (25/3/2023), menurut Buya Yahya ada sembilan kategori orang yang boleh tidak puasa Ramadhan.


1. Anak kecil


Maksudnya, diantara orang yang boleh tidak puasa adalah anak yang belum baligh. Tanda baligh ada tiga, yaitu:


• Pertama yang keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun Hijriah.


• Kedua, keluar darah haid pada usia 9 tahun Hijriah (bagi anak perempuan).


• Ketiga, jika tidak keluar mani dan tidak haid maka ditunggu hingga umur 15 tahun.


Jika sudah genap 15 tahun maka ia disebut dengan telah baligh dengan usia, yaitu genap usia 15 tahun Hijriyah.


2. Gila


Orang gila tidak wajib puasa. Seandainya puasa maka puasanya pun tidak sah.


Dalam hal ini, ulama membagi orang gila menjadi dua macam, yaitu:


Pertama, orang gila dengan disengaja.

Orang gila yang disengaja jika puasa maka puasanya tidak sah dan wajib mengqadha.


Sebab sebenarnya ia wajib puasa, kemudian ia telah dengan sengaja membuat dirinya gila. Kesengajaan inilah yang membuatnya wajib mengqadha puasanya setelah sehat akalnya.


Kedua, orang gila yang tidak disengaja. Orang gila yang tidak disengaja tidak wajib ber puasa.


Seandainya berpuasa maka puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia tidak berkewajiban mengqadha, karena gilanya bukan disengaja.


3. Sakit


Orang sakit boleh meninggalkan puasa.

Adapun ketentuan bagi orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah:


Sakit parah yang memberatkan untuk puasa yang berakibat semakin parahnya penyakit atau lambatnya kesembuhan.


Adapun yang bisa menentukan sakit seperti ini adalah dokter Muslim yang terpercaya dan berdasarakan pengalamannya sendiri.


Dalam hal ini, tidak terbatas kepada orang sakit saja.


Akan tetapi, siapa pun yang sedang puasa lalu menemukan dirinya lemah dan tidak mampu untuk puasa dengan kondisi yang membahayakan terhadap dirinya maka saat itu pun dia boleh membatalkan puasanya.


Akan tetapi, ia hanya boleh makan dan minum seperlunya, kemudian wajib menahan diri dari makan dan minum seperti layaknya orang puasa.


Berbeda dengan orang sakit, ia boleh berbuka dan boleh makan sepuasnya untuk memulihkan kesehatannya.


4. Orang Tua


Orang tua (lanjut usia) yang berat untuk melakukan puasa diperkenankan untuk meninggalkan puasa.


Dalam hal ini, tidak ada batasan umur.

Akan tetapi, asalkan betul-betul puasa memberatkan baginya hingga sampai membahayakan maka ia boleh berbuka puasa.


5. Bepergian (Musafir)


Semua orang yang bepergian boleh meninggalkan puasa dengan ketentuan sebagai berikut ini:


Tempat yang dituju dari tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.


Di pagi (saat Shubuh) hari yang ia ingin tidak ber puasa, ia harus sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan).


Misalnya kata Buya Yahya :


Seseorang tinggal di Cirebon ingin pergi ke Semarang. Jarak antara Cirebon – Semarang adalah 200 km (tidak kurang dari 84 km).


Ia meninggalkan Cirebon pukul 2 malam (Sabtu dini hari). Shubuh hari itu adalah pukul 4 pagi. Pada pukul 4 pagi (saat Shubuh) ia sudah keluar dari Cirebon dan masuk Brebes.


Maka, di pagi hari Sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa.


Berbeda jika berangkatnya ke Semarang setelah masuk waktu Shubuh, Sabtu pagi setelah masuk waktu Shubuh masih di Cirebon.


Maka, di pagi hari itu ia tidak boleh meninggalkan puasa karena sudah masuk Shubuh ia masih ada di rumah.


Akan tetapi ia boleh meninggalkan puasa di hari Ahadnya, karena di Shubuh hari Ahad ia berada di luar wilayahnya.


Ada beberapa catatan khusus bagi yang melakukan berpergian saat puasa.

Seseorang dalam bepergian akan dihukumi mukim (bukan musafir lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari.


Misalnya, orang yang pergi ke Semarang yang tersebut dalam contoh, saat ia sampai di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai di Semarang juga tetap boleh berbuka, asalkan ia tidak bermaksud tinggal di Semarang lebih dari 4 hari.


Jika ia berniat tinggal di Semarang lebih dari 4 hari maka semenjak ia sampai di Semarang, ia sudah disebut mukim dan tidak boleh meninggalkan puasa dan juga tidak boleh mengqashar shalat.


Untuk dihukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari seperti kesalahpahaman yang terjadi pada sebagian orang.


Akan tetapi, kapan ia sampai tempat tujuan yang ia niat akan tinggal lebih dari 4 hari, ia sudah disebut mukim.


Yang dihitung empat hari di sini adalah empat hari utuh, tidak dihitung hari masuk dan hari keluar, misal hari rabu siang dia sudah sampai di Semarang maka boleh dihitung hari pertama adalah malam Kamis, hari kedua adalah malam Jumat, hari ketiga adalah malam Sabtu, hari keempat adalah malam Ahad, dan dia keluar hari Senin maka hari Rabu saat ia datang dan hari Senin saat dia keluar tidak dihitung.


Begitu juga jika ada orang datang hari Sabtu siang, kemudian keluar hari Sabtu siang pekan berikutnya maka dua hari Sabtu tersebut tidak dianggap, sebab itu adalah hari keluar dan hari masuk yang tidak dihitung.


6. Hamil


Orang hamil diperbolehkan tidak berpuasa.

Adapun kategori orang hamil tersebut seperti orang hamil yang khawatir akan kondisi dirinya atau janin (bayinya).


7. Menyusui


Wanita yang tengah menyusui diperbolehkan tidak ber puasa apabila ia khawatir akan kondisi dirinya atau kondisi bayi yang masih di bawah umur dua tahun Hijriyah.


Bayi di sini tidak harus bayinya sendiri, tetapi bisa juga bayi orang lain.


8. Haid


Wanita yang sedang haid tidak wajib ber puasa, bahkan jika ber puasa, puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.


9. Nifas


Terakhir adalah wanita yang sedang nifas tidak wajib ber puasa. Jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.@_Oirul

26 tampilan

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page