KOORDINATBERITA.COM| Surabaya - Pakar hukum pidana Sunarno Edy Wibowo mengkritik kebijkan Pengadilan Negeri (PN) yang menerapkan pembatasan ketat pada persidangan Tragedi Kanjuruhan.
Dosen Hukum Universitas Narotama Surabaya ini menyebut PN Surabaya melanggar aturan karena menerapkan pembatasan pada sidang itu.
"Pengadilan, kalau tidak benar-benar terbuka, ini salah besar, melanggar UU," kata Prof Bowo, sapaan akrabnya.
Baca juga : Kepala Divisi Hukum Kontras Andi Muhammad Rezaldi selaku perwakilan koalisi mengatakan, kekhawatiran itu muncul karena pihaknya menemukan sejumlah keganjilan dalam jalannya persidangan https://www.koordinatberita.com/single-post/kontras-sebut-sidang-tragedi-kanjuruan-banyak-keganjilan-dan-ky-diminta-mengawasi
Diketahui PN Surabaya menerapkan pembatasan ketat dalam pelaksanaan sidang Tragedi Kanjuruhan. Misalnya, PN melarang media massa untuk melakukan live streaming, membatasi pengunjung ke ruang sidang dengan alasan kapasitas yang terbatas. Mereka juga melarang Aremania datang ke pengadilan.
Pemegang gelar profesor dari ASEAN University International (AUI) Malaysia ini berpendapat sidang perkara pidana seperti Tragedi Kanjuruhan mestinya digelar terbuka untuk publik. Pasalnya, bukan kasus asusila.
Persidangan di pengadilan, kata dia, pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, kecuali dalam perkara mengenai asusila atau dengan terdakwa anak-anak. Hal ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
"Sidang ini kan terbuka untuk umum, artinya harus benar-benar dibuka untuk umum. Kecuali, kalau sidang asusila tertutup memang tidak untuk umum," ucapnya.
Kebijakan pembatasan ini, kata Bowo, telah mengebiri hak publik khususnya kelurga korban untuk mengakses informasi. Mestinya sebagai lembaga negara, PN Surabaya harus patuh pada aturan.
"Sekarang ini demokrasi, nah itu [kebijakan PN] bukan demokrasi, sidang terbuka tapi tidak terbuka. Kalau bicara UU, tidak boleh [dibatasi] dan harus dibuka, ini kan tentang UU dan bukan kekuasaan absolut. Jadi, sidang harus benar-benar dibuka untuk umum," ujar Bowo.
Bowo memahami bila PN atau aparat melarang kedatangan Aremania dalam persidangan karena alasan kemanan. Namun membatasi akses informasi dengan tidak membolehkan media massa menyiarkan jalannya sidang secara langsung, itu tak dapat diterimanya.
Pengadilan dan majelis hakim terkesan menutup diri dari umum. Bowo pun khawatir akan timbul beragam persepsi miring perihal pelarangan itu.
"Kalau seperti ini, berarti jadi rasa keadilan tidak ada. nah, kalau seperti itu ada apa? ada rekayasa apa? ada setting apa ini? Ini kembali ke zaman dulu," katanya.
"Kalau cuma menonton doang kenapa memangnya? berarti pengadilan tidak adil, padahal kan tempat mencari keadilan," tambah dia.
Apalagi, kata Bowo, kasus tragedi yang setidaknya menewaskan 135 korban jiwa dan ratusan lainnya luka-luka ini, telah mendapatkan perhatian internasional.
"Apalagi ini disoroti internasional dan FIFA karena Indonesia dianggap enggak mampu melakukan kegiatan persepakbolaan," tutupnya.@_Oirul
Comments