KOORDINATBERITA.COM Opini - Kampanye Pemilihan Umum Presiden alias Pilpres 2024, sudah dimulai. Para juru kampanye, anggota tim sukses, maupun pendukung turut meramaikan kampanye dengan memperkenalkan program maupun janji-janji kandidat unggulannya.
Namun, tak hanya kampanye visi-misi berbasis data dan fakta saja yang ditebarkan. Saling serang di media sosial juga kerap kita temui. Pengerahan pasukan siber yang menebar disinformasi alias hoaks pada Pemilu 2019 silam, sudah bukan rahasia lagi. Lalu, bagaimana menyikapi kampanye Pilpres 2024 kali ini?
Prebunking Series (52) Membedakan Kampanye Hitam dan Kampanye Negatif
Idealnya, berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum, para calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) beradu keunggulan visi, misi, dan citra diri sesuai aturan Pemilu. Namun, kita tidak bisa menutup mata terhadap keberadaan pasukan siber (cyber troops) yang sengaja membuat dan menyebarkan informasi palsu untuk menipu banyak orang.
Hasil riset dari Oxford Internet Institute (OII) tentang disinformasi menunjukkan bahwa di Indonesia, ada partai politik dan politikus serta kontraktor swasta membentuk pasukan siber untuk memanipulasi informasi di ruang media sosial. Propaganda ini banyak dilakukan oleh pendengung (buzzer) terutama untuk kepentingan pemilihan umum.
Maka, kita perlu cerdik mengamati kecenderungan kerja-kerja pasukan siber ini di Pemilu ini. Selain menaruh perhatian pada materi kampanye positif dari tiap pasangan capres-cawapres, kita perlu teliti apakah ada yang mulai mengarah kepada kampanye negatif maupun kampanye hitam (black campaign).
Dikutip dari Rumah Pemilu, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso, menjelaskan beda kampanye negatif dengan kampanye hitam atau black campaign. Kampanye negatif dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik.
“Kampanye negatif ini aspek hukumnya sah saja. Bahkan, itu berguna membantu pemilih membuat keputusannya,” jelas Topo pada seminar “Politik Transaksional, Korupsi Politik, dan Kampanye Hitam pada Pemilu 2019 dalam Tinjauan Hukum Pidana” di gedung Fakultas Hukum UI, Depok, Jawa Barat.
Artikel ilmiah yang ditulis oleh Richard R Lau dan Ivy Brown Boner berjudul “Negative Campaigning”, juga menyebutkan bahwa kampanye negatif berguna untuk membantu pemilih membuat keputusannya. Sebab, dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik melalui data riil yang ditampilkan.
Lalu, bagaimana dengan black campaign? Kampanye hitam dilakukan dengan menuduh pihak lawan menggunakan tuduhan palsu atau belum terbukti, atau melalui hal-hal yang tidak relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin.
Contohnya, kampanye negatif dalam kontes pemilihan presiden (pilpres) dilakukan dengan mengungkap data utang luar negeri petahana capres oleh pihak lawan. Sebaliknya, kampanye hitam, dilakukan dengan menuduh seseorang tidak pantas menjadi pemimpin karena agama atau rasnya. Dengan kata lain, kampanye hitam lebih berfokus menumbangkan lawan lewat penyebaran berita bohong.
Ditinjau dari aspek hukum, kampanye hitam dilarang dan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana tertuang di dalam Pasal 280 ayat (1) huruf c dan Pasal 521. Pada Pasal 280 ayat (1) huruf c berbunyi, “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain.” Pasal 521, “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,g,h,i, atau j, dipidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah.”
Oeh Inge Klara Safitri dari Tempo Media Lab
Comments