top of page
Gambar penulisredaksikoordinaberita

Latah & Gila Hormat


Koordinatberita.com| OPINI- Pasal pidana penghinaan pejabat negara sudah dihapus Mahkamah Konstitusi (2006). Kini tampil lagi sebagai delik aduan dalam Rancangan revisi KUHP. Kontroversi lama marak lagi. Yang rancu dalam debat publik layak dijernihkan.


Menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, kebebasan berpendapat perlu diimbangi perlindungan nama baik orang lain. Dalam rumusan abstrak begitu, pernyataan beliau benar. Namun, bukan berarti pasal penghinaan merupakan langkah konkret mendukung keseimbangan.


Demi keseimbangan, seharusnya ada pasal-pasal yang mengancam pejabat negara apabila menyerang kehormatan rakyat. Bukan sebaliknya. Mengapa? Hak bersuara pejabat jauh lebih besar daripada rakyat biasa. Tidak berimbang. Pemerintah punya kementerian komunikasi dan informasi, kementerian pendidikan, kantor humas, dan influencer.


Sebagai pemilik kedaulatan tertinggi, rakyat RI memilih presiden dan wakilnya. Bukan sebaliknya. Jadi, kehormatan rakyat lebih tinggi ketimbang pejabat negara setinggi apa pun. Lha kok menghina pejabat negara bisa terancam pidana lebih berat ketimbang menghina warga negara lain?


Pasal penghinaan terhadap pejabat dan lembaga negara berlaku di beberapa negara. Tetapi tidak di negeri demokrasi. Berpuluh tahun RI mewarisi pasal-pasal kolonial Belanda sejenis itu yang disebut haatzaai artikelen.


”Barang siapa menyulut atau membangkitkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Belanda, atau Pemerintah Hindia Belanda dengan kata-kata, tanda-tanda, atau tingkah laku atau cara-cara lain akan dihukum”. Begitu bunyi pasal yang diperkenalkan Gubernur Jenderal Idenburg, 15 Maret 1914.


Haatzaai artikelen berlaku di Hindia Belanda tak lama setelah jajahan Inggris di India dijinakkan oleh pasal hasutan. Juga tak lama setelah di Thailand diberlakukan hukum lèse-majesté yang sebelumnya punya riwayat ribuan tahun di Eropa kini masih bertahan di sebagian wilayah Asia dan Eropa yang punya ratu, raja, atau kaisar yang harus dimuliakan secara mutlak. Namun, di pemerintahan mereka yang diatur konstitusi, kepala pemerintahnya lazim dicaci.


Di berbagai negara, hukum pencemaran memang berfungsi mengimbangi kebebasan berpendapat. Namun, ada dua perbedaan besar dari usulan Pemerintah RI. Beda pertama, di banyak negara lain pencemaran diatur hukum perdata, bukan pidana. Misalnya di Australia, polisi tak ikut campur kasus pencemaran. Orang tak boleh ditahan dan dipenjara karena kasus pencemaran.


Beda kedua, terbalik dari RI, hukum mereka membatasi peluang bagi lembaga negara dan perusahaan besar mengadu kasus pencemaran. Tak lazim bagi politikus di Amerika atau Inggris mengadu kasus pencemaran walau kerja mereka rutin dicaci dan diolok-olok. Di Indonesia, menurut SAFEnet, 70 persen pengadu UU ITE (2008-2020) adalah kaum elite, sebagian besarnya pejabat publik.


Di atas kertas, warga RI dilindungi hukum dari pencemaran. Pejabat negara juga warga negara, jadi otomatis sudah ikut terlindungi. Untuk apa tambahan pasal perlindungan bagi pejabat? Padahal yang rentan jadi korban pidana itu rakyat biasa.


Penyakit gila hormat bisa menular pada siapa saja. Bukan cuma pejabat negara. Banyak warga kelas menengah kini mudah tersinggung dan bergegas lapor polisi. Bukan cuma jumlah aduan membengkak. Yang lebih memprihatinkan banyak aduan remeh-temeh keseharian, seperti kasus serempetan kecil mobil dua pesohor.


Dulu penjajah Belanda mengandalkan haatzaai artikelen untuk memadamkan revolusi antikolonialisme. Orde Baru mengobral pasal penghinaan untuk menindas aktivis prodemokrasi. Tidak seperti sekarang. Dulu yang dipidana bukan ibu-ibu yang mengeluh jeleknya jasa publik. Bukan warga yang mengejek satu lembaga negara sebagai ”kacung” lembaga dunia.


Kini media sosial memperparah masalah. Jurnalis yang terdidik etika penerbitan bisa khilaf dan mencemarkan orang. Padahal, tulisannya diperiksa redaktur sebelum diterbitkan. Apalagi netizen awam yang mendadak jadi penulis dan penerbit digital tanpa pantauan redaksional dari siapa pun.


Maraknya media sosial menuntut pembaruan hukum. Keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan pencemaran perlu disesuaikan. Tetapi bukan dengan pasal pidana. Bukan dengan perlindungan istimewa bagi pejabat negara seperti tradisi keraton atau kolonialisme, sejoli mesra yang dimusuhi pejuang revolusioner pada awal abad ke-20.


Sia-sia berdebat semantik tentang beda kritik dan hinaan jika faktanya para pengkritik kebijakan pemerintah jadi korban utama hukum pidana. Yang lebih perlu dan mudah dibedakan adalah dua jenis sasaran pernyataan negatif, entah disebut kritik atau hinaan. Pertama, yang menyerang kinerja atau kebijakan pejabat atau lembaga publik. Kedua, serangan pribadi terhadap individu, entah ia pejabat atau bukan.


Yang pertama wajar di negara demokrasi; pelakunya tidak perlu dihukum. Yang kedua bisa berbuntut sengketa di banyak negara. Apalagi di negara yang mengobral aneka pasal aduan. Dalam catatan SAFEnet, selama 2017-2020 petugas pidana siber meneliti 15.000 aduan UU ITE. Pantas, ada pepatah sarkas ”kalau bisa rumit, bertele-tele, dan mahal, kenapa dibikin sederhana, cepat, dan hemat?”


Yang terjadi di Australia justru sebaliknya. Di sana kejaksaan berjuang merevisi berbagai aturan agar sengketa hukum kasus penghinaan atau pencemaran jumlahnya ditekan sekecil mungkin. Yang bersengketa didorong mencari penyelesaian di luar pengadilan. Hakim didesak menggugurkan gugatan remeh-temeh.


Sumber daya kepolisian dan pengadilan di negara mana pun terbatas. Sayang jika waktu dan tenaga mereka terkuras habis oleh banjir aduan remeh-temeh. Banyak masalah lain yang lebih layak diutamakan, misalnya perlindungan data konsumen, pelecehan seksual, dan kerusakan lingkungan.


Ujaran kebencian mustahil dibasmi. Kita perlu belajar hidup lebih santai dan dewasa di zaman yang gaduh omong kosong, fitnah dan dengki, baik yang pro maupun anti-pemerintah. Kita perlu lebih kebal melawan wabah gila hormat. Perlu memilah masalah pribadi dari urusan dinas. Perlu lebih merdeka dari sisa-sisa warisan kolonial Eropa dan budaya keraton pribumi.@_**


Oleh:

Ariel Heryanto

Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia — with Ariel Heryanto.

6 tampilan

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page