KOORDINATBERITA.COM | Surabaya - Masyarakat mendukung upaya Komisi Yudisial (KY) dan penasihat hukum Dini Sera Afrianti untuk melaporkan tiga hakim PN Surabaya ke KPK. Tiga hakim tersebut memvonis bebas terdakwa pembunuh Dini, Gregorius Ronald Tannur.
Sebelumnya, KPK mengaku bakal mendalami hal ini bila ditemukan bukti-bukti kuat. Ahli pidana Universitas Bhayangkara (Ubara) Surabaya buka suara menanggapi kasus ini.
Ahli pidana Ubhara Prof Dr Solahudin mengatakan, KPK memiliki kewenangan untuk menyelidiki dugaan gratifikasi pada tiga hakim PN Surabaya itu. Bahkan, tanpa menunggu hasil pemeriksaan dari KY maupun tanpa seizin MA.
"KPK punya kewenangan, tidak usah izin MA, kalau ada laporan yang diduga (gratifikasi). Kemudian dari PH korban, kemudian mempunyai sedikit bukti, misal ada dugaan kuat bahwa punya bukti-bukti, nanti KPK yang melanjutkan," kata Solahudin saat dikonfirmasi, Senin (2/9/2024).
Terlebih, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan, pihaknya baru bisa mengusut dugaan korupsi dalam vonis bebas anak eks anggota DPR RI Fraksi PKB Edward Tannur, Ronald Tannur jika terdapat indikasi suap kepada hakim pada Selasa (27/8/2024) lalu. Bilamana terbukti, KPK bakal menindaklanjuti hal itu.
"Kalau KY dalam pemeriksaannya ada temuan suap atau gratifikasi, bisa juga KY melaporkan pada KPK atau PH keluarganya korban, karena kan kalau KY hanya memeriksa pelanggaran etiknya," imbuhnya.
Solahudin lantas menyarankan, agar KPK segera melacak ponsel dan segala alat bukti yang ada. Menurutnya, besar kemungkinan adanya komunikasi antara tiga hakim itu dengan pihak terkait yang diduga memberikan gratifikasi untuk mempengaruhi pemberian putusan bebas pada putra Edward Tannur tersebut.
"Tapi, secara logika hakim bela-bela banget kan bisa dilacak ya ponsel hakim dan pertemuan kepada pihak luar atau terdakwa, itu bisa dijadikan bukti-bukti, bisa juga dijadikan bukti awal ke KPK, tidak boleh asal menduga saja tanpa bukti, harus ada dugaan kuat, kemudian KPK melakukan penyelidikan," ujarnya.
Solahudin menegaskan, KPK juga tak perlu menanti aba-aba dari pihak manapun, seperti halnya KY dan MA. Menurutnya, KY dan MA sebatas menentukan sanksi etik, bukan dengan pidana.
"Kalau etiknya kan sudah selesai dan diusulkan dipecat, KY kan menentukan ada pelanggaran etik berat. Memang, selama ini pikiran masyarakat yang berhubungan soal PN Surabaya kan menduga-duga sebenarnya 3 hakim yang lagi apes karena nekat, ini sebenarnya seperti gunung es," tuturnya.
Solahudin pun mengakui mendapat banyak suara dari pelbagai pihak tentang penanganan perkara di PN Surabaya. Menurutnya, para pencari keadilan di PN Surabaya yang berkeluh kesah kepadanya, merasa masih banyak hakim yang menjadi hakim garis, bukan hakim wasit.
"Saya mendapat suara-suara advokat dan masyarakat banyak tentang PN Surabaya yang tidak bersih kok, ada pendapat dari mahasiswa saya juga. Berbeda dengan hakim di PA (Pengadilan Agama) yang memang relatif bersih, karena mungkin takut neraka, beda dengan peradilan umum," jelasnya.
"Jadilah hakim wasit, bukan hakim garis. Artinya berada di tengah, tidak memihak sana sini, tapi memihak keadilan. Tapi kalau hakim garis, hanya melihat satu sisi. 3 hakim itu adalah hakim garis, bukti-bukti diabaikan, harusnya kan diperhitungkan semua itu," lanjutnya.
Maka dari itu, Solahudin menganjurkan agar proses selektivitas hakim kian diperketat. Serta, meningkatkan keilmuan dan moralitas hakim supaya tak melanggar etik maupun pidana saat mengadili suatu perkara.
"Manusia itu makhluk berkemungkinan, beda dengan malaikat dan setan. Manusia bisa jadi malaikat dan bisa jadi setan, karena makhluk berkemungkinan. Mungkin, hakim kita ini kan juga kurang, mungkin terkait anggaran juga, makanya banyak penundaan sidang, sering itu. Jadi, sistem rekrutmen hakim harus benar-benar mengedepankan integritas dan kapabilitas," bebernya.
"Tidak hanya formal saja, tapi juga substansial, serta memiliki moralitas. Kemudian, ilmu hukum kan berkembang, tapi masih saja ada penegak hukum yang tidak profesional atau ilmunya kurang, mengingat hakim kita kan tidak ada hakim spesialis, jadi harus meningkatkan ilmu hukumnya juga, baik pidana maupun perdata. Tapi menurut saya, dalam kasus itu (putusan bebas Gregorius Ronald Tannur) memang 3 hakim itu nekat, karena secara ilmu hukum pidana kasus itu tidak bisa bebas," tutupnya.@_Netwok
Comments