Koordinatberita.com| JAKARTA- Rumah-rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta dan sejumlah kota besar lain sejatinya telah kolaps. Presiden Jokowi sudah saatnya mengibarkan bendera putih, meminta tolong kepada negara sahabat yang lebih berdaya.
Pasien Covid-19 yang kritis di Jakarta dan sekitarnya semakin sulit masuk rumah sakit karena ruang isolasi dan ICU khusus selalu penuh, meski kapasitasnya terus ditambah. Pasien yang sudah masuk rumah sakit pun banyak yang tidak mendapat perawatan yang semestinya. Stok oksigen di sejumlah rumah sakit menipis, bahkan mulai langka. Jumlah ventilator tak sebanding dengan jumlah pasien gawat darurat. Pada saat yang sama, tenaga kesehatan terus bertumbangan karena
kelebihan beban kerja atau tertular virus corona.
Maka, dari hari ke hari, kita semakin sering mendengar cerita pilu tentang pasien Covid-19 yang meninggal sebelum sempat mendapat perawatan. Di Rumah Sakit Sardjito, misalnya, 63 pasien Covid-19 meninggal dalam tempo 24 jam setelah fasilitas kesehatan di Yogyakarta itu kekurangan stok oksigen sentral. Lapor Covid-19, platform pemantau pandemi di Tanah Air, merilis data yang membuat miris: sebanyak 269 pasien Covid-19 meninggal ketika menjalani isolasi mandiri.
Semua fakta itu menunjukkan bahwa sistem kesehatan Indonesia tak sanggup lagi beradu cepat dengan laju pandemi. Sejak dua hari lalu, kasus harian Covid-19 bertambah di atas 27 ribu kasus--rekor tertinggi sejak 16 bulan masa pagebluk. Jumlah total kasus Covid-19 sudah menembus angka 2,2 juta. Padahal, puncak gelombang kedua pandemi diperkirakan baru terjadi pada akhir Agustus nanti.
Anehnya, sejumlah pejabat pemerintah masih saja membuat pelbagai penyangkalan. Pemerintah belum mau mengakui bahwa rumah-rumah sakit rujukan Covid-19 pada dasarnya telah ambruk. Pemerintah seperti tak mau belajar dari kesalahan sebelumnya. Penyangkalan atas kegawatan bukan hanya sia-sia, tapi juga sangat berbahaya.
Kondisi genting hari ini tak bisa dilepaskan dari penyangkalan dan kesalahan pemerintah sejak masa awal pandemi, Maret tahun lalu. Pemerintah terbukti keliru ketika menyangkal bahwa Covid-19 sudah masuk ke Indonesia dan melonggarkan penerbangan dari negara zona merah pandemi. Begitu pula dengan tarik ulur pembatasan kegiatan masyarakat yang selalu didominasi oleh kepentingan ekonomi.
Mengakui kegagalan atau kesalahan tak hanya merupakan kewajiban moral pemerintah. Kejujuran juga merupakan syarat agar pemerintah kembali mendapat kepercayaan dari masyarakat. Pada masa sulit seperti ini, dukungan masyarakat tak akan bisa dipaksakan dengan pengerahan aparat keamanan atau ancaman hukuman. Cara itu justru bisa memantik antipati atau bahkan perlawanan.
Tentu mengaku salah saja tak cukup. Presiden Jokowi dan para pembantunya harus bekerja lebih keras mengkonsolidasikan semua sumber daya yang tersisa. Pemerintah pusat seharusnya menggandeng para kepala daerah yang punya gagasan progresif, termasuk dari mereka yang dipersepsikan sebagai oposisi.
Pemerintah di pelbagai tingkatan juga harus merangkul semua relawan dan kelompok masyarakat yang peduli, tanpa mencurigai lagi latar belakangnya. Lebih dari itu, pemerintah Indonesia sudah saatnya menanggalkan gengsi untuk meminta bantuan dunia internasional. Meminta tolong secara jujur bukanlah aib. Apalagi faktanya kita memang tidak mampu melawan sendiri pandemi ini.
Presiden Jokowi sudah saatnya mengibarkan bendera putih. Mintalah pertolongan kepada negara lain yang berpengalaman serta lebih berdaya dalam melawan wabah.@_**
———-
Lapor Covid-19: Pemerintah Harus Akui Kondisi Darurat dan Minta Maaf ke Rakyat
Lapor Covid-19 meminta pemerintah untuk meminta maaf karena gagal tangani pandemi. Salah satu pendiri Lapor Covid-19, Irma Hidayana, mengatakan pemerintah harus mengakui kondisi darurat pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini.
"Saya kira permintaan maaf dan pengakuan pemerintah saat ini diperlukan, selain solusi yang konkret memberikan bantuan," kata Irma dalam diskusi virtual, Senin, 5 Juli 2021.
Irma mengatakan mereka menerima banyak sekali laporan dari warga positif Covid-19 yang kesulitan mencari tempat isolasi terpusat, rumah sakit, ICU, hingga oksigen. Hingga Ahad, 4 Juli 2021, organisasi nirlaba ini mencatat 278 orang meninggal saat isolasi mandiri atau sedang berupaya mengakses layanan kesehatan.
Irma pun menyoroti sikap Kementerian Kesehatan yang membantah fasilitas kesehatan kolaps dan kondisi tenaga kesehatan yang kelelahan. Tak setuju disebut kolaps, Kemenkes menyatakan fasilitas kesehatan hanya overkapasitas.
Irma mengapresiasi langkah Kementerian Kesehatan yang meningkatkan layanan bagi pasien Covid-19 yang isolasi mandiri. Namun dia meminta pemerintah untuk tidak sekadar menjawab bahwa mereka telah mengkonversi rumah sakit umum menjadi rumah sakit khusus Covid-19.
"Di lapangan keluarga berjuang luar biasa untuk mendapatkan bantuan supaya bisa dirawat oleh rumah sakit, ini dua hal yang sangat tidak nyambung," ujar Irma.
Irma mengatakan pemerintah selama ini mengacu pada data resmi ihwal keterisian tempat tidur rumah sakit. Padahal, kata dia, data-data itu kerap tidak update. Ia meminta pemerintah tidak menggunakan statistik yang tak merepresentasikan kondisi di lapangan.
"Mohon situasi yang sudah gawat darurat dan carut marut ini diakui, minta maaf, serta mengakhiri segala komunikasi yang mencitrakan bahwa kita baik-baik saja," ujar Irma.
Doktor bidang ilmu kesehatan dan perilaku dari Columbia University ini mengatakan, pencitraan hanya menumbuhkan ketidakwaspadaan masyarakat. Ia mengatakan masyarakat tak semestinya disalahkan karena tidak taat protokol kesehatan.
"Bagaimana mau taat kalau diberi tahu situasinya tenang-tenang saja. Apa yang terjadi sekarang adalah buah pengendalian pandemi yang tidak berhasil selama hampir 1,5 tahun ini," kata salah satu pendiri Lapor Covid-19 ini.@_**
Sumber: Tempo
Comments