top of page
Gambar penulisredaksikoordinaberita

Intip Peristiwa ‘Mayat Mau Masuk Liang Lahat juga susah’ Apakah Covid di Indonesia Seperti India


Koordinatberita.com| PERISTIWA- Pasien yang meninggal akibat Covid-19 kini tak hanya ditemui di ruang-ruang perawatan rumah sakit, tapi juga terbaring di ruang-ruang tunggu IGD dan terbujur di rumah-rumah. Kasus kematian yang melejit membuat tim pemulasaraan jenazah kewalahan. Di DKI Jakarta atau di Kota lain pengurusan jenazah di rumah-rumah harus mengantre.


Di Yogyakarta, puluhan jenazah Covid-19 berjajar menunggu giliran diurus, sementara masih ada jenazah lain yang berderet di ruang IGD. Adapun di Kota Cimahi, Jawa Barat, anggota keluarga jenazah terpaksa rela menanti belasan jam mengantre pemakaman.

Penuturan sejumlah narasumber di lapangan menguatkan pemaparan koalisi warga LaporCovid-19. Berdasarkan himpunan data LaporCovid19, dari awal Juni hingga Selasa, (06/07), terdapat sekitar 324 orang meninggal dunia karena 'terpaksa' melakukan isolasi mandiri akibat rumah sakit penuh.


Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menyebut, fenomena ini sebagai cermin "keparahan pandemi dan kegagalan Indonesia dalam pengendalian pandemi".

Wirawan bertutur panjang mengenai kondisi yang harus dia hadapi beberapa pekan ke belakang. Sehari-hari, dia bekerja sebagai anggota Tim Pemulasaraan Jenazah Covid-19 di DKI Jakarta. “Kita mau masuk rumah sakit, susah. Kita mau masuk kuburan (sekarang), juga susah," ujarnya.


Beberapa kali Wirawan harus menyaksikan tubuh jenazah yang akan diurus sudah terbujur kaku. Beberapa dalam kondisi mengenaskan. Itu karena hampir setiap jenazah pengidap Covid-19 yang meninggal dalam isolasi mandiri di rumah, tidak bisa segera mendapat penanganan.

Pemulasaraan jenazah-jenazah itu masuk ke daftar antrean mengingat sedemikian banyaknya permintaan.


"Yang melaporkan biasanya tetangganya, 'Kok orang ini nggak keluar-keluar, lagi isoman'. Begitu dilihat sudah nggak ada [meninggal], lapor ke kami. Kami tiba di sana, [jenazah] sudah kaku. Rata-rata seperti itu sekarang kondisinya," cerita Wirawan kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (08/07).


'Mau masuk RS susah, masuk kuburan juga susah'


Berderetnya jenazah yang harus dipulasarakan merupakan imbas dari peningkatan angka kematian di luar fasilitas kesehatan seiring lonjakan kasus Covid sejak Juni 2021 lalu.


Bulan-bulan sebelumnya, Wirawan biasanya menerima permintaan pemulasaraan dua hingga tiga jenazah dalam sehari. Tapi kini timnya bisa menyusun daftar antrean hingga 24 jenazah dalam sehari. Kondisi tersebut membuat Wirawan dan kawan-kawan kewalahan. Rentetan laporan warga tak sebanding dengan daya timnya yang beranggotakan kurang dari 10 orang.


"Sehari hanya sanggup paling tinggi itu 18 (jenazah). Berangkat dari jam delapan pagi atau setengah sembilan lah, pulang sudah subuh. Pagi baru balik ke posko lagi," ungkap bapak dua anak tersebut.


Hingga IGD tutup, mengapa bisa terjadi dan perlukah menstok oksigen di rumah?

Saban hari ada satu tim pemulasaraan yang harus mondar-mandir menyisir keberadaan jenazah dari satu rumah ke rumah lain di seluruh wilayah Ibu Kota. Pengurusan dilakukan berdasarkan nomor antrean pelaporan.


"Yang jadi kendala, jaraknya jauh, dari Jakarta pusat ke timur, dari timur ke utara, jauh jangkauannya," tutur Wirawan.


Itulah yang kadang membuat jenazah terpaksa menunggu berjam-jam untuk mendapat giliran pemulasaraan. Jika subuh tiba namun masih ada antrean, maka pengurusannya bakal dialihkan ke keesokan harinya.


Tak jarang saat sampai di lokasi, Wirawan mendapati jenazah yang masuk antrean sudah meninggal dunia lebih dari sehari.

"Kita kan juga nggak tahu. Kita terima beritanya (laporannya) sekarang, kita meluncur ke sana kan sesuai antrean. Sampai di sana kita nggak tahu kalau kondisinya sudah seperti itu, sudah meninggal berapa hari yang lalu," ungkap pria yang puluhan tahun terbiasa mengurus jenazah tersebut.


"Jadi meninggalnya juga kadang-kadang nggak ketahuan jam berapa. Jenazahnya itu, istilahnya, ya sudah lewat dari 24 jam baru dilaporkan ke kami," lanjut dia.


Wirawan merasa getir ketika tak bisa bergegas mengurus satu per satu jenazah. Tapi dia pun tak mampu berbuat banyak mengingat keterbatasan daya.


"Pikiran saya sih sekarang, kapan ini bisa berakhir. Karena kasihan juga melihat saudara-saudara kita, yang hidup, dalam keadaan sakit. Mau masuk ke rumah sakit juga susah karena rumah sakit semua penuh," tutur dia.


"Sementara yang meninggal pun kondisinya seperti itu, mau masuk kuburan susah. Mau pemulasaraan antre. Itu yang jadi pikiran saya, kapan bisa berakhir?" sambung Wirawan lagi.


'Selama antrean orang sakit belum terpecahkan, jadilah antrean orang mati'

Kondisi nyaris serupa terjadi di Yogyakarta pada awal Juli 2021. Bedanya, antrean jenazah tak hanya dari rumah ke rumah, tapi juga berderet di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Sardjito.


Puluhan jenazah saat itu berjejer mengisi penuh ruang forensik rumah sakit. Sementara di bangsal perawatan, terbaring puluhan jenazah lain yang menunggu giliran pemulasaraan.


Daftar antrean itu saja belum tertangani, Komandan Posko Dukungan Operasi Satgas Covid-19 Yogyakarta Pristiawan Bintoro mengungkap masih ada jenazah di luar fasilitas kesehatan.


Untuk mengurai apa yang disebutnya 'kemacetan' sirkulasi jenazah, Pristiawan menggerakkan tim mengurus jasad-jasad di ruang forensik.


"Jadi saking sudah penuhnya, kemarin kami mengurai 83 jenazah. Itu akumulasi dari tiga hari. Padatnya tiga hari dari 3,4,5 Juli," tutur Pristiawan kepada wartawan Nurika Manan Rabu (07/07).


"Itu harus segera diurai karena kalau di bagian forensik ini nggak segera terdistribusi untuk dimakamkan, maka ada puluhan orang yang sudah meninggal di bangsal itu tidak bisa dikeluarkan, dibawa ke ruang forensik," terang dia.


Di Yogyakarta, saat itu pemulasaraan jenazah Covid-19 masih terpusat di rumah sakit. Alhasil stagnasi jenazah di ruang forensik RSUP dr. Sardjito berdampak pada antrean pengurusan pasien yang meninggal di luar fasilitas kesehatan.


Belum lagi angka kematian di rumah sakit-rumah sakit rujukan yang juga tinggi.

"Kalau dulu kan orang meninggal di rumah, dievakuasi ke rumah sakit, untuk dilakukan pemulasaraan jenazah infeksius, baru dimakamkan," terang dia.


"Cuma kondisi sekarang, malam ada yang meninggal, mau dibawa ke RSUD, RSUD sudah penuh. Yang awalnya penuh dengan peti-peti berisi jenazah antre untuk dimakamkan, berkembang menjadi antrenya jenazah-jenazah yang mau dipemulasaraankan. Itu sempat terjadi kemarin," tambah Pristiawan.


Persentase kematian di luar fasilitas kesehatan, menurut Pristiawan cenderung naik. Ia mencontohkan, di Kulonprogo misalnya, kasus kematian di rumah ketika isolasi mandiri ada enam dan kematian di rumah sakit hanya satu.


Menurut dia, penuhnya ruang perawatan di rumah sakit salah satu faktor penyebab tingginya angka kematian di luar fasilitas kesehatan.


"Selama itu belum terurai persoalan penumpukan orang sakit, maka jadilah itu antrean-antrean orang-orang mati yang antre untuk dikuburkan," tutur Pristiawan.


"Akhirnya, terus menjadi antrenya jenazah. Kalau ini nggak dilakukan solusi-solusi di tingkat penuhnya rumah sakit ya nggak akan selesai juga," imbuh dia lagi.


Penuturan Pristiawan sejalan dengan data koalisi warga LaporCovid-19. Berdasarkan himpunan data LaporCovid19, dari awal Juni hingga Selasa, (06/07), terdapat sekitar 324 orang meninggal dunia karena 'terpaksa' melakukan isolasi mandiri akibat rumah sakit penuh. Penyebabnya dua, yaitu fasilitas kesehatan yang disebut LaporCovid-19 'kolaps' dan langkanya pasokan oksigen.


"Orang berbondong-bondong ke RS yang jadi penuh dan kewalahan, kehabisan oksigen, sehingga banyak yang meninggal di luar RS dan sedang isolasi mandiri. Fasilitas kesehatan kita kolaps," kata Said Fariz Hibban dari LaporCovid-19.


Said mencontohkan, orang tua temannya yang meninggal dunia di rumah sakit, "karena tidak kebagian ventilator, lalu dipindah ke pojok kamar tanpa oksigen, akhirnya gagal nafas dan tidak bisa ditolong lagi," ujarnya.


Belasan jam menunggu antrean pemakaman

Cerita lain datang dari Kota Cimahi, Jawa Barat. Feby Komaladewi mengungkapkan anggota keluarganya yang meninggal pada Minggu (27/06) malam baru bisa dimakamkan keesokan harinya di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Lebak. Berjam-jam waktu tunggu itu, kata dia, karena ada belasan antrean jenazah yang harus dimakamkan, tapi petugas terbatas.


"Akhirnya sekitar jam 10 (pagi) barulah selesai gali lubang karena memang petugas di sana sudah kewalahan," cerita warga Kota Cimahi itu kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

"Meninggal itu setengah sembilan malam, bisa dimakamkan jam 10 pagi besoknya. Sampai 12 jam menunggu," imbuh Feby.


Sementara keluarga jenazah pasien Covid-19 lainnya, Rahman bukan nama sebenarnya mengaku harus merogoh kocek lebih dalam proses pemakaman di TPU Cikadut Kota Bandung. Uang itu dikeluarkan mulanya hanya untuk perbedaan domisili dan sejumlah biaya lain seperti ongkos nisan, tim gali, juga tim pikul. Tapi rupanya setelah di lahan pemakaman, antrean hari itu sudah mencapai 38. Jenazah keluarganya ada di urutan 40-an. Seseorang kemudian menawarkan jasa mempercepat antrean.


"Saya dijanjikan estimasi pemakaman jam 7 malam," kata dia.


Tanpa pikir panjang, Rahman menyanggupi. Yang ada di benaknya hanyalah keluarganya bisa segera dikuburkan. Ia pun lantas membayar Rp1,5 juta.


"Sampai jam 4an (sore) nggak ada kabar ... hampir setengah 6 saya ke lokasi lagi. Saya nanya jam berapa kira-kira dimakamin, terus katanya, supor backhoe-nya kabur," cerita Rahman.


"Saya teriak, Allahuakbar. Saya posisi sebagai keluarga sudah emosi dengan kondisi di lapangan," sambung dia lagi.


Jenazah keluarganya baru bisa dimakamkan sekitar pukul 11 malam. Itupun setelah Rahman kembali mengeluarkan duit Rp7 juta untuk jasa percepatan. Ia membayar seseorang di lapangan yang disebutnya sebagai preman.


"Saya langsung nanya ke orang itu minta malam ini pemakaman beres, dia nanya ada duit berapa, saya nego yang tadinya Rp12 juta jadi turun Rp6,8 juta tambah uang rokok Rp200 ribu, jadi Rp7 juta," aku Rahman.


Merespons pengakuan tersebut, Kepala UPT Pemakaman Wilayah 3 Kota Bandung, Supena memastikan tak ada pungutan. Ia menegaskan jika hal tersebut terjadi di lapangan maka bisa dilaporkan.


"Tidak ada biaya apapun, kalaupun ada pungli saya sudah berusaha bikin surat edaran, brosur ke ahli waris, secara lisan ataupun tulisan. Kalau misalkan ada pungli jangan ditanggapi," kata Supena kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.


Dia pun mengimbau warga yang merasa dipungut biaya tambahan untuk mengadu ke kantornya.


"Bawa datanya, bawa barang buktinya. Saya berkoordinasi dengan kepolisian, bilamana ada yang pungli orangnya tahu. Tinggal lapor ke kantor TPU dan kepolisian," tukas Supena.


"Petugas kami 24 jam, banyak petugas kami jadi korban, lebih dari 10 yang sakit baik pemikul, baik penggali. Tapi dia tidak memikirkan, hanya memfitnah tanpa barang bukti. Kalau ada barang bukti, sodorkan," kata dia lagi menegaskan.


'Penumpukan kematian', buntut melejitnya kasus Covid’


Berbagai kisah itu hanya bagian kecil dari peliknya proses pemulasaraan hingga pemakaman jenazah Covid-19 beberapa pekan terakhir, di tengah lonjakan kasus. Banyaknya pasien yang meninggal bukan hanya di rumah sakit tapi juga di luar fasilitas kesehatan, mengakibatkan 'penumpukan' kematian.


Lembaga yang mengadvokasi penanganan wabah, LaporCovid-19 membuka aduan kasus kematian di luar fasilitas kesehatan. Analis Data Tim LaporCovid-19, Hibban membeberkan 'penumpukan kematian' terbanyak terjadi di Jawa Barat (128), diikuti Yogyakarta (79), Banten (47), Jawa Timur (39), DKI Jakarta (33), dan Jawa Tengah (30).


"Secara persebarannya, penumpukan kematian itu ada di Pulau Jawa. Dilihat dari pola, kebanyakan meninggal saat isolasi mandiri," ungkap Hibban kepada wartawan Nurika Manan.


"Ada dua tipe isolasi mandiri. Yang pertama isoman karena kesulitan mencari rumah sakit, akhirnya terpaksa isoman. Ada yang sudah keluar hunting rumah sakit, tapi ditolak, akhirnya pasrah pengobatan di luar dan akhirnya meninggal," terang dia lagi.


Tipe kedua adalah yang meninggal dalam rentang waktu relatif singkat, sebelum sempat mencari perawatan. Laporan yang dikumpulkan sejak awal Juni hingga 9 Juli tersebut total mencatatkan 369 kematian di luar faskes dari 62 kabupaten/kota di 11 provinsi. Data ini dikumpulkan dari berita online, media sosial, laporan personal dan WhatsAppbot.


Salah satu laporan yang masuk mengadukan soal enam kematian saat isolasi mandiri di Kelurahan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur. Laporan itu diterima melalui WhatsAppBot dengan rentang kejadian 20-30 Juni 2021.


"Sudah dipantau oleh tim puskesmas, Kak. Dan tim dari puskesmas juga turun membantu jenazah saat pemulasaraan," tulis pelapor yang ditujukan ke LaporCovid-19.


Keenam warga yang meninggal ketika isoman itu disebut dalam kondisi umum yang sudah lemah dan mengalami desaturasi, tapi tidak mendapat ruang perawatan karena RS penuh.


Banyaknya kematian di luar faskes tersebut diakui Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, tidak diprediksi. Kendati, sistem pelayanan kesehatan memang tak berjalan ideal dengan lonjakan kasus belakangan.


Meski begitu ia mengingatkan setiap warga yang mengalami perburukan kondisi harus segera ke rumah sakit, betapapun mengantre dan penuhnya pelayanan. Menurut dia, banyaknya kematian saat isolasi mandiri karena terlambat ke fasilitas pelayanan kesehatan.


"Yang boleh melakukan isolasi mandiri itu hanya yang gejala ringan dan sedang, jadi kalau mulai berat harus mau ke rumah sakit. Walaupun harus antre satu dua hari," tutur Nadia kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (09/07).


"Lalu kalau ada yang mengatakan rumah sakit yang menolak pasien, itu seharusnya tidak boleh. Dalam keadaan emergency, RS harus menerima pasien bagaimanapun kondisinya," tukas dia.


Sementara antrean pada pemulasaraan hingga pemakaman imbas tingginya kematian, kata Nadia bukan semata tugas kementeriannya. Ia menuntut peran masing-masing pemerintah daerah untuk mengurai ini.

Adapun untuk kasus di Ibu Kota, Jajang Rahmat dari Tim Pemulasaraan Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengakui tak memprediksi lonjakan kematian di luar fasilitas kesehatan. Karena itu tenaga belum penuh dipersiapkan. Akibatnya, para petugas pemulasaraan sempat kelabakan saat awal-awal melejitnya kasus pada Juni.


"Jadi waktu kami kaget kematian yang melonjak, armadanya belum ditambah, karena kita tidak mungkin melibatkan tenaga kesehatan lagi kan, mereka sudah capek menangani kasus, kalau ditambah dengan pemulasaraan akan lebih capek," jelas Jajang.


Alhasil, kini menurutnya Pemprov DKI Jakarta telah menyiapkan tenaga relawan untuk membantu pemulasaraan di tiap-tiap kecamatan. Tim-tim kecil tersebut akan membantu tugas utama tim pemulasaraan utama yang berposko di Monas.


"Kami latih 1.000 relawan lebih untuk bisa membantu seluruh DKI Jakarta di masing-masing kecamatan. Sebenarnya dari minggu kemarin sudah dilatih, tahap pertama 245. Karena eskalasinya naik terus, maka disiapkan tambahan," sambung dia.


Cermin parahnya wabah Covid-19 di Indonesia dan 'kegagalan pengendalian'

Fenomena tingginya kematian di luar fasilitas kesehatan menurut epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, "mencerminkan keparahan pandemi dan kegagalan Indonesia mengendalikan pandemi". Banyaknya pasien yang meninggal di rumah-rumah ketika isolasi mandiri menandakan buruknya sistem 3T meliputi tracing, testing dan treatment sebagai deteksi dini.


"Ini tentu yang harus kita cegah lebih banyak, karena potensi perburukan masih ada. Karena potensi puncak masih di akhir Juli. PPKM Darurat ini adalah modal, asal dilakukan dengan komitmen tinggi semua pihak, konsisten dan disiplin," tutur Dicky kepada wartawan Nurika Manan


Keseriusan kebijakan PPKM Darurat harus dibarengi penguatan 3T, vaksinasi dan khusus untuk Indonesia dengan peningkatan visitasi atau program kunjungan rumah. Mengingat, lanjut Dicky, 80%-85% warga yang terinfeksi ada di rumah-rumah.

"Kalau tidak dilakukan, kematian di rumah-rumah akan tinggi. [...] kalau mirip dengan India, tidak. Tapi kalau The Little India, bisa, berpotensi sekali,"imbuh Dicky.


Harapan Dicky senada dengan Wirawan salah satu warga yang saban hari kini dihadapkan dari jenazah satu ke jenazah lain di rumah-rumah. Ia ingin pemerintah bersungguh-sungguh menghargai dan melindungi nyawa warganya.


"Harapannya, pemerintah segera bisa mengatasi ini, karena kesehatan itu utama. Pembangunan biar bagaimana juga kalau rakyatnya meninggal semua, ya buat apa?" ucap bapak dua anak tersebut.


"Siapa yang mau nempatin negara? Siapa yang mau diatur, negaranya, kalau rakyatnya nggak ada (banyak yang meninggal)," seloroh Wirawan.@_**

12 tampilan

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page