Koordinatberita.com| JAKARTA- Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, menilai wacana Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin untuk menuntut hukuman mati koruptor kasus PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri, hanyalah jargon politik. Hal semacam ini ia sebut kerap dilakukan pimpinan lembaga penegak hukum hingga presiden.
Kurnia melihat hal itu hanya dilakukan untuk memperlihatkan kepada masyarakat keberpihakannya terhadap pemberantasan korupsi. Padahal, jika berkaca pada kualitas penegakan hukum, hasilnya ia nilai masih buruk.
"Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi," kata Kurnia saat dihubungi, Jumat, 29 Oktober 2021.
Ia pun mempertanyakan hukuman mati bisa jadi jenis pemidanaan yang paling efektif untuk memberikan efek jera kepada koruptor sekaligus menekan angka korupsi di Indonesia. Bagi ICW, pemberian efek jera akan terjadi jika diikuti dengan kombinasi hukuman badan dan pemiskinan koruptor.
"Mulai dari pemidanaan penjara, pengenaan denda, penjatuhan hukuman uang pengganti, dan pencabutan hak politik. Bukan dengan menghukum mati para koruptor," kata Kurnia.
Selain itu, ia juga melihat kualitas penegakan hukum oleh aparat penegak hukum belum menggambarkan situasi yang ideal untuk memberikan efek jera kepada koruptor. Masih banyak hal yang harus diperbaiki.
Apalagi Kejaksaan Agung punya catatan buruk terkait penegakan hukum di Korps Adhyaksa ketika menangani perkara yang melibatkan anggota internalnya, dalam kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pinangki dituntut dengan hukuman yang sangat rendah dan membuat komitmen Jaksa Agung dalam pemberantasan korupsi dipertanyakan.
Selain itu, Kurnia juga menyoroti fenomena diskon untuk hukuman bagi para koruptor yang masih sering terjadi. Dalam catatan ICW, hukuman penjara saja masih berada pada titik terendah, yakni rata-rata 3 tahun 1 bulan untuk tahun 2020. Sedangkan, pemulihan kerugian keuangan negara juga menjadi problematika klasik yang tak kunjung tuntas. Selama 2020 saja, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 56 triliun, namun uang penggantinya hanya Rp 19 triliun.
"Maka dari itu, lebih baik perbaiki saja kualitas penegakan hukum, ketimbang menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan," kata Kurnia.
Wacana hukuman mati ini disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak kemarin. Ia mengatakan Jaksa Agung ST Burhanuddin, saat ini tengah mengkaji kemungkinan itu demi memberikan rasa keadilan dalam perkara itu.
Kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya sendiri menelan kerugian negara mencapai Rp 16,8 triliun. Sedangkan kasus PT Asabri mencapai Rp 22,78 triliun.@_**
Comentarios