Koordinatberita.com| JAKARTA~ Kandidat yang terpilih kerap menginginkan pengembalian biaya pilkada lewat kewenangannya. Hal ini hasil penelitian Komisi Pemberantasan Korupsi mendapati salah satu faktor pemicu korupsi adalah kepala daerah berlatar belakang pengusaha atau yang disponsori pebisnis saat pemilihan. Penyebabnya, kandidat yang terpilih menginginkan pengembalian biaya pilkada melalui kewenangannya sebagai kepala daerah.
Juru bicara bidang pencegahan KPK, Ipi Maryati, mengatakan sponsor kandidat dari kalangan pengusaha juga berisiko
menimbulkan politik transaksional. “KPK
tidak ingin pejabat publik memanfaatkan
jabatannya untuk keuntungan pribadi
ataupun kelompoknya,” kata dia, kemarin.
Hasil riset KPK yang dirilis pekan lalu
menyatakan 45 persen pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah berlatar belakang pengusaha. Studi itu sejalan dengan penelusuran Tempo dan Yayasan Auriga Nusantara, yang menemukan 376 kandidat pilkada tahun ini terafiliasi dengan 931 perusahaan.
Studi KPK tersebut mengacu pada analisis terhadap data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pasangan calon dan wawancara. Jumlah kandidat berlatar belakang pengusaha bisa lebih besar
karena calon inkumben dari pebisnis tidak dimasukkan dalam kategori pengusaha, melainkan birokrat.
Dari penelitian Ipi , ada lima modus korupsi kepala daerah. Pertama, intervensi kegiatan belanja, seperti pengadaan barang dan jasa, pengelolaan kas, hibah, dan bantuan sosial. Kedua, intervensi pemerintah
daerah berupa pajak, retribusi, ataupun
pendapatan daerah dari pemerintah pusat.
Ketiga, intervensi perizinan berupa pemberian rekomendasi, penerbitan izin, hingga pemerasan. Keempat, penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang jabatan. Kelima, benturan kepentingan dalam proses pengadaan barang dan jasa.
Studi KPK ini menyimpulkan bahwa belum
ada standar etik yang menjadi acuan dalam risiko benturan kepentingan kepala daerah dengan perusahaan miliknya. Pedoman yang ada sebatas berupa peraturan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. “Secara umum juga tidak ada peraturan yang melarang pengusaha maju sebagai kepala daerah,” ujar Ipi.
Anggota Divisi Korupsi Politik Indonesia
Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha,
berpendapat bahwa setiap calon kepala
daerah semestinya mengumumkan
hubungannya dengan perusahaan tertentu sejak mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum. Tujuannya, ketika mereka terpilih, masyarakat berdampak terhadap perusahaan tersebut.
Temuan ICW menyimpulkan masyarakat tidak mendapat informasi yang cukup perihal profil calon kepala daerah berlatar pebisnis dan aktivitas mereka dalam perusahaannya ketika terpilih.
Egi mengatakan kondisi itu diperparah oleh penyelenggaraan birokrasi yang tidak transparan. “Kondisi ini akhirnya
menjadi celah yang dipakai kepala daerah untuk menyelewengkan anggaran,” ujarnya.
Berpendapat senada, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, mengemukakan bahwa hubungan calon kepala daerah dengan korporasi merupakan imbas tingginya biaya politik.
Akibatnya, calon kepala daerah harus mencari sumber daya untuk membiayai kontestasi pemilihan. Masalah lainnya, kata dia, biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah kerap tidak dilaporkan secara transparan.
Berdasarkan studi ICW, masih ada calon yang tidak melaporkan sumbangan dana kampanye maupun laporan awal dana kampanye. “Sehingga transparansi pelaporan dana kampanye, yang seharusnya bisa dipakai untuk melihat relasi pembiayaan calon, juga susah diawasi,” kata Fadli.
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan
Rakyat, Saan Mustopa, membenarkan
pencalonan kepala daerah kerap menjadi
ajang transaksi bakal calon dengan partai. Cara-cara tersebut memungkinkan seorang bakal calon memborong dukungan semua.@_**
Comments