Dugaan pungutan liar alias pungli yang dilakukan agen kargo itu disinyalir mencapai Rp1 juta hingga Rp3 juta per peti kemas atau kontainer.
“Pak Jokowi, Ada Pungli hingga Rp 3 Juta per Peti Kemas Barang Impor“
Koordinatberita.com| JAKARTA- Dugaan pungutan liar alias pungli yang dilakukan agen kargo terhadap para importir disinyalir mencapai Rp1 juta hingga Rp3 juta per peti kemas atau kontainer. Industri logistik nasional kembali diguncang kabar tak sedap. Menyusul kisruh kenaikan ongkos logistik domestik, industriawan kini membeberkan dugaan praktik perusahaan kargo yang memungut biaya importasi di luar jasa yang diberikan kepada importir.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi mengeklaim banyak agen kargo atau pengapalan yang menetapkan biaya di luar kewajaran. Bahkan, muncul sejumlah biaya yang tidak ada pelayanannya.
“Saat ini operator kapal kehabisan ruang karena bisa jadi diborong oleh agen-agen kargo yang mengatasnamakan agen pengapalan yang mengenakan tarif sesukanya. Akibatnya, muncul biaya-biaya yang tidak ada pelayanannya dan cenderung menjadi pungli,” kata Subandi, Selasa (26/10/2021).
Berdasarkan invoice yang dikeluarkan PT MAP Trans Logistic kepada PT Lumbung Pangan Mandiri Bersama, terdapat sejumlah biaya importasi yang dikenakan seperti THC, EHS charges, TIS charges, LOLO, DO fee, Adm fee, Cleaning hingga Congestion recovery surcharge.
“Bukankah jika tidak ada pelayanan tetapi mengutip biaya termasuk pungli atau pemerasan? Ini enggak ada pelayanannya, untuk biaya cleaning memang container-nya diapain?” keluh Subandi.
Atas dasar temuan tersebut, GINSI meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menindak tegas praktik pungli pada biaya importasi.
Menurut Subandi, praktik pungli itu menyebabkan target pemerintah untuk menurunkan biaya logistik di Indonesia dari 23% menjadi 17% terhadap produk domestik bruto (PDB) tidak efektif.
“Kementerian maupun kepolisian menertibkan biaya-biaya yang tidak ada layanannya dan cenderung mengada-ada, termasuk juga biaya jaminan kontainer yang ternyata masih terjadi dan merupakan rentenir di proses importasi barang,” kata dia.
Agen pelayaran asing atau main line operator (MLO) di Indonesia telah mengoptimalkan alokasi kontainer eks impor bagi eksportir Indonesia.
Para agen MLO tersebut juga sepakat bahwa persoalan kelangkaan kontainer saat ini bukan lagi menjadi isu utama yang dihadapi pelaku. Namun, permasalahan saat ini adalah kesediaan ruang kapal akibat kondisi perdagangan global.
Senior Director A.P. Moller-Maersk Erry Hardianto sebelumnya menjelaskan Maersk Group sudah mengalokasikan sebesar 100% kontainer eks impor untuk mendukung ekspor pelaku usaha di Indonesia.
Namun, lanjutnya, untuk sebagian kecil pelabuhan memang ada ketidak cocokan atau mismatch antara ukuran dan tipe kontainer yang masuk untuk impor dan yang digunakan untuk ekspor.
"Dalam mismatch ini, sudah kami atasi dengan mendistribusikan kembali kontainer tersebut melalui transhipment hub kami. Di atas itu, untuk mencukupi kebutuhan akan kontainer kosong untuk ekspor, kami terus meningkatkan pengangkutan kontainer kosong dari transhipment port kami," ujarnya, belum lama ini.
Saat dimintai konfirmasi, Indonesian National Shipowners' Association (INSA) menampik adanya dugaan praktik pungutan liar atau pungli yang dilakukan perusahaan kargo kepada importir sebagaimana dilaporkan GINSI.
Ketua DPP INSA Carmelita Hartoto mengatakan asosiasinya tidak menemukan dugaan itu di lapangan. Carmelita, alih-alih, meminta GINSI untuk menjelaskan secara terperinci laporan itu kepada masyarakat agar tidak keliru menanggapi dugaan tersebut.
“Kami dari INSA sebagai asosiasi tidak menemukan hal tersebut karena asosiasi tidak melakukan bisnis. Kabar yang ada belum jelas kejadiannya bagaimana,” kata Carmelita, Selasa (26/10/2021).
Menurut Carmelita, pungli tidak memiliki tanda terima atau invoice. Akan tetapi, merujuk pada laporan GINSI, sejumlah importir yang mengaku mengalami pungli menerima tanda terima importasi tersebut.
“Untuk itu perlu dibuktikan berupa rekaman atau recording terjadinya pungli tersebut. Dengan demikian, tidak akan salah dalam penindakannya,” kata dia.
-
Bagaimanapun, pendapat berbeda disampaikan oleh kalangan eksportir yang mengeluhkan terjadinya dugaan pungli serupa dengan yang dialami oleh para importir.
Dalam hal ini, Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) juga mengeklaim adanya praktik pungutan liar atau pungli yang dilakukan oleh perusahaan freight forwarding kepada anggotanya dari kalangan eksportir.
Sekretaris Jenderal DPP GPEI Toto Dirgantoro menuturkan modus pungli itu biasanya dikerjakan lewat pengutipan biaya tambahan dari pengapalan peti kemas ekspor.
“Justru dilakukan oleh forwarding khususnya kargo less-load container [LCL] maupun full container yang melalui forwarding itu,” kata Toto saat dihubungi, Selasa (26/10/2021).
Biasanya, Toto menuturkan, perusahaan freight forwarding memungut sampai Rp250.000 untuk biaya resmi yang dipatok Rp100.000. Pengutipan biaya tambahan itu dimasukkan pada komponen biaya administrasi.
“Ada juga terminal handling charges [THC] ini bayar ke pelayaran, tetapi US$95 dalam mata uang rupiah kursnya sesuka pelayaran, tidak mengikuti patokan kurs yang ada ini yang menyebabkan biaya yang tinggi, belum kalau LCL biaya container freight station [CFS] juga tinggi,” kata dia.
Awak media ini telah berusaha menghubungi Asosiasi Logistis dan Forwarder Indonesia (ALFI) serta Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) terkait dugaan pungli importir dan eksportir tersebut, tetapi hingga berita ini diturunkan kedua asosiasi belum memberikan responsip.
Dalam Negeri
Sebelumnya, isu pembengkakan biaya logistik juga terjadi pada pengapalan rute domestik. Kenaikan biaya pengapalan kontainer global berimbas pada logistik antarpulau di dalam negeri.
Kementerian Perdagangan mengupayakan agar situasi ini tidak memengaruhi harga barang pokok dan penting di wilayah tujuan pengiriman.
Direktur Sarana Distribusi dan Logistik Kemendag Iqbal Shoffan Shofwan menjelaskan kenaikan biaya logistik antarpulau terjadi akibat penyesuaian biaya pengapalan kontainer.
Hal ini merupakan tindakan korektif dari pemilik kapal akibat naiknya biaya sejumlah komponen input seperti biaya bunker, bahan bakar minyak, dan suku cadang yang didatangkan dari luar negeri.
Besaran kenaikan sendiri bervariasi, tergantung pada rute dan kondisi bisnis perusahaan. Kenaikan berkisar 15%—40%, masih di bawah kenaikan biaya logistik global yang melampaui 500% untuk sejumlah rute. Iqbal juga menjelaskan terjadi kelangkaan kontainer di dalam negeri karena ruang muat kapal domestik yang berkurang. Untuk menjaga pendapatan, sejumlah perusahaan pelayaran lebih memilih untuk melayani pelayaran internasional karena lebih menguntungkan.
“Harga pengapalan kontainer luar negeri lebih tinggi dan pemilik kapal memilih untuk melayani pelayanan internasional karena lebih menguntungkan,” kata Iqbal.
Dia mengatakan Kemendag tengah berkoordinasi dengan instansi terkait dan pelaku usaha untuk memecahkan masalah ini. Kebutuhan kontainer di dalam negeri diharapkan bisa terpenuhi dengan tarif yang kembali normal.
“Hal ini diharapkan dapat menekan biaya pengiriman termasuk untuk pengiriman komoditas pangan,” kata Iqbal.
Tindakan penyesuaian harga pengapalan kontainer ini diharapkan berlangsung sementara. Apabila harga bunker, bahan bakar minyak, dan biaya pengapalan kontainer internasional kembali normal, harga di dalam negeri diharapkan bisa mengikuti.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman menyebutkan biaya pengapalan kontainer dari Jakarta ke sejumlah daerah mengalami kenaikan.
Sebagai contoh, pengapalan rute Jakarta—Medan naik di kisaran 40% dan Jakarta—Pekanbaru naik sekitar 29%.
Akibat dari kenaikan ini, pelaku usaha mulai melakukan penyesuaian harga barang. Penyesuaian harga juga dipilih sebagai imbas dari naiknya harga bahan baku impor dan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) mulai tahun depan.@_**
Comments