Koordinatberita.com| JAKARTA~ ANGIN DI BUKIT MENOREH. Pemberantasan Korupsi menelusuri resor dan penginapan milik bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak, Angin Prayitno Aji, yang diduga berasal dari suap pajak. Aset banyak diatasnamakan orang lain.
EMPAT relief wajah Buddha kuning keemasan terpampang di Watu Putih Resort di Desa Ngargogondo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Tiga relief setinggi lebih dari satu meter terukir pada sebongkah batu raksasa di dalam kompleks resor.
Satu relief lagi, dengan ukuran yang juga besar, ditatah pada batu berbeda. Wajah Buddha yang ini menghadap halaman penginapan seolah-olah menyambut tamu. Berdiri di atas lahan seluas 10 hektare di kaki Bukit Menoreh, Watu Putih Resort mulai dibangun pada 2018. Di area penginapan terdapat bangunan beratap stupa Candi Borobudur dan pendapa berarsitektur rumah joglo. Lahannya yang berundak-undak ditopang bebatuan kali pada tebingnya.
Portal besi menghalangi jalan masuk menuju resor itu. Pos di dekat portal tersebut dihuni penjaga yang sebagian berbadan tegap dan berambut cepak. Setiap orang yang hendak melintasi portal wajib mendapatkan izin dari pengelolanya yang bernama Ragil Jumedi.
Namun warga desa mengenal resor itu dimiliki pemodal berinisial WS, seorang pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Menurut seorang penegak hukum, WS bukanlah pemilik sesungguhnya. Si empunya sebenarnya adalah atasan WS: Angin Prayitno Aji, bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak.
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Angin sebagai tersangka suap pajak sejak awal Februari lalu. Dia diduga menerima sogokan puluhan miliar rupiah saat memeriksa pajak PT Gunung Madu Plantations, PT Bank Panin Indonesia Tbk, dan PT Jhonlin Baratama pada 2017-2019. Resor Watu Putih diduga dibangun dengan duit besel tersebut.
Petugas komisi antikorupsi menggeledah resor tersebut pada awal Maret lalu. “KPK sudah ke Watuputih. Warga kaget,” ujar Sohir, Ketua Rukun Tetangga 4 Dusun Malangan, Desa Ngargogondo, pada Jumat, 23 April lalu. Angin tak mengelola resor itu secara langsung.
Berdasarkan keterangan seorang penegak hukum, Ragil Jumedi atau biasa disapa Medi bertugas mengurus pengadaan tanah untuk resor tersebut pada 2018. Saat membeli tanah di sana, Medi menggunakan dua makelar yang juga warga Desa Borobudur yang tinggal di sekitar resor, Candra dan Puji.
Warga desa menjual tanah dengan harga yang beragam, dari Rp 175 ribu hingga Rp 500 ribu per meter persegi. Resor mulai dibangun setelah petak-petak tanah beralih kepemilikan. Menurut Sohir, Medi semula mengerahkan setidaknya 100 pekerja untuk membangun Watu Putih.
Setelah digeledah KPK, pembangunannya mandek. Bekas Kepala Dusun Malangan, Jalil, juga mendengar informasi serupa. Jalil bercerita, tiga tahun lalu, Candra dan Puji menemui kakaknya untuk membicarakan lahan yang kini digunakan untuk resor tersebut. Menurut Jalil, Candra dan Puji diduga makelar utusan Medi yang bertugas mencari tanah penduduk agar dijual kepada Medi.
Kakak Jalil menjual tanah seluas 1.000 meter persegi dengan harga Rp 250 juta. Lahan tersebut dulunya dipakai untuk bercocok tanam. “Dulu di sana banyak monyet," ucap Jalil.
Di Dusun Malangan, ada sepuluh orang yang menjual lahannya dengan luas rata-rata 100- 2.000 meter persegi. “Saya dijanjikan persenan untuk sangu urip (bekal hidup) bila semua lahan deal terjual. Nyatanya, sepeser pun tidak ada,” kata Jalil. Menurut dia, sebelum mengelola penginapan dan resor, Medi adalah makelar dengan kehidupan pas-pasan.
Candra membenarkan bahwa dia diutus Medi untuk mencari tanah. Medi menemui Candra untuk meminta bantuan mencari lahan untuk pembangunan resor. Kepada Candra, Medi mengaku mengelola resor dan membangun penginapan tersebut untuk seorang pejabat pajak. Candra mengaku pernah berjumpa dengan pejabat pajak itu. “Ya, ketemu,” kata Candra tanpa menyebut nama pejabat tersebut.
Adapun Puji mengklaim sebagai orang pertama yang menjual tanah di Bukit Menoreh kepada Medi. Lahan seluas 1.795 meter persegi itu dibanderol seharga Rp 450 ribu per meter persegi. Kepada Puji, Medi menyebut lahan itu dibeli seorang investor yang bekerja di kantor pajak.
Dia memberikan syarat akan membantu Medi asalkan pembangunan resor itu melibatkan masyarakat. Puji lantas mendatangi sejumlah penduduk agar mau menjual tanah. Puji irit bicara ketika ditanya ihwal asal-muasal kepemilikan lahan resor. “Yang tahu Pak Medi. Saya enggak bisa cerita lebih,” tuturnya.
Kepala Dusun Malangan, Hari Astanto, mendengar kabar bahwa Watu Putih Resort telah berpindah tangan karena pemiliknya keteteran untuk meneruskan pembangunan. Pengerjaan resor yang baru 40 persen itu, menurut dia, bukan lagi atas nama Medi. “Tapi saya tidak tahu siapa nama pemiliknya sekarang ini,” ujar Hari.
Medi sempat menawarkan lahan dan bangunan Watu Putih Resort seharga Rp 250 miliar di situ jual-beli pada akhir 2020. Waktu itu, KPK mulai menyelidiki kasus suap pajak yang melibatkan Angin. Medi juga beberapa kali dipanggil untuk dimintai keterangan, tapi selalu mangkir dengan berbagai alasan.
Sebagaimana Watu Putih Resort, Angin diduga memiliki sejumlah penginapan yang diatasnamakan orang lain. Dua penginapan lain yang tak begitu jauh dari Watu Putih juga menggunakan nama Medi. Kedua penginapan tersebut hanya berjarak 2,5 kilometer dari Candi Borobudur.
Penginapan bernama Rumah Dharma 1 dan Rumah Dharma 2 Riverside itu pun telah digeratak KPK. Lokasinya di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur. Patung Buddha juga menjadi ornamen di kedua penginapan yang terlihat asri dan hijau itu. Rumah Dharma 1 memiliki enam kamar berdinding batu bata. Penginapan yang dilengkapi bungalo dan kolam renang ini menjual pemandangan sawah sebagai daya tariknya.
Berjarak sekitar satu kilometer dari situ, berdiri umah Dharma Riverside dengan pemandangan sungai dan jembatan. Penginapan ini lebih luas ketimbang Rumah Dharma 1. Jumlah kamarnya juga lebih banyak. Rumah Dharma Riverside memiliki sepuluh kamar bergaya joglo. Di setiap kamar terdapat patung berbentuk stupa Borobudur yang diletakkan di atas batu bata. Patung Buddha mengelilingi setiap sisi kolam renang. Ada pula bungalo dan pendapa di sana.
Di Yogyakarta, Medi juga diduga “memiliki” penginapan berciri yang sama dengan aset di Magelang. Patung Buddha juga banyak mengisi Rumah Dharma 3 di pusat kota tersebut. Guest house berukuran 500 meter persegi itu berdiri di Jalan Timoho 2. Ada delapan kamar dengan arsitektur Jawa yang dominan. Harga sewa kamar di tiga Rumah Dharma itu sama: Rp 500 ribu per hari.
Namun Tempo berupaya menemui Ragil Jumedi dua kali di Rumah Dharma 1. Saat itu, Medi sedang bermain kartu bersama lima pemuda kampung setempat.
Tapi dia menghindar lalu pergi ke dapur.
“Tidak bisa diwawancarai,” kata petugas resepsionis bernama Budi pada Senin, 29 Maret 2020 Keesokan harinya, Tempo kembali menemui Medi di rumahnya di Magelang. Istri Medi mengatakan suaminya sedang berada di Rumah Dharma 1.
Dia menyebutkan KPK telah mendatangi kediamannya belum lama ini dan mengorek keterangan dari Medi. “Mau tanya soal Angin kan? Ketemu Mas Medi saja,” ujar istri Medi. Ia tak mau menyebutkan namanya. Di Rumah Dharma 1,
seorang resepsionis menyatakan Medi menolak ditemui.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan KPK telah mengidentifikasi semua aset Angin di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Surabaya. Petugas KPK juga telah menelusuri semua dokumen kepemilikan aset tersebut melalui Badan Pertanahan Nasional serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. KPK sedang menghitung nilai seluruh aset tersebut. “Kadang kala nilai aset berbeda secara formal dan kenyataannya. Kami perlu meng-kroscek kepada semua pihak yang memperjualbelikan,” kata Ghufron.
Menurut dia, rata-rata para tersangka korupsi menggunakan nominee seperti Medi untuk menyembunyikan harta. “Pakai layer, bisa dua level. Antara penjual dan pembeli sama-sama layer,” ujar Ghufron.
Dia menyatakan lembaganya sedang mempertimbangkan untuk menerapkan pasal pencucian uang dalam kasus dugaan suap pajak ini.
Dimintai konfirmasi soal aset-aset tersebut dan perkaranya, Angin tak merespons pesan dari Tempo. Surat permohonan wawancara juga dikirim ke kediaman Angin di Jalan Kayu Putih Selatan I, Jakarta Timur. Menurut penjaga rumah, majikannya tersebut sudah tidak tinggal di sana.
“Bapak sudah pindah,” tutur pria yang tak mau menyebutkan namanya. Upaya meminta tanggapan Angin saat dia menghadiri resepsi pernikahan anaknya di Surabaya pada 27 Maret lalu juga tak berhasil. Sejumlah orang lebih dulu menghalang-halangi wartawan Tempo untuk mewawancarai Angin.
KPK memanggil Angin untuk diperiksa sebagai saksi pada Rabu, 21 April lalu. Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan Angin tidak memenuhi panggilan. “Yang bersangkutan tidak hadir dengan alasan sakit dan meminta
secara tertulis untuk dijadwalkan ulang pada 28 April 2021,” ujar Ali.
Sumber: Majalah Tempo
Comentarios