“RUU KUHP Pasal 263. Pasal ini Berbenturan dengan Isi dalam UU Pers (Pasal 15) dan Ancam Jurnalis atau Wartawan”
Koordinatberita.com| JAKARTA- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menghapus pasal-pasal bermasalah yang mengancam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi dalam RUU KUHP dan RUU ITE. Dua RUU ini menjadi yang disetujui DPR masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021.
Sebab, sejumlah pasal dalam kedua RUU tersebut membuat pekerjaan jurnalis berisiko tinggi karena tampak mudah untuk dipidanakan. Antara lain mengatur soal tindakan-tindakan seperti 'menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum'.
"Kami tahu bahwa semua tindakan itu merupakan karakter dari pekerjaan jurnalis, yaitu menginformasikan kepada khalayak luas. Pasal ini akan dengan mudah dipakai oleh orang yang tidak suka kepada jurnalis untuk memprosesnya secara hukum, dengan dalih yang mungkin tidak kuat dan gampang dicari," ujar Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito Madrim melalui keterangan tertulis pada Rabu, 6 Oktober 2021.
AJI Indonesia juga mendesak DPR dan pemerintah agar mendengarkan aspirasi masyarakat dan transparan dalam pembahasan revisi UU KUHP dan UU ITE. Menurut Sasmito, pelibatan publik merupakan kewajiban yang harus dilakukan DPR dan pemerintah dalam setiap pembuatan regulasi.
Sasmito melihat, selama ini, pelibatan masyarakat hanya bersifat seremonial dan tidak diberikan waktu yang cukup dalam memberi masukan. Akibatnya komunikasi terkait pembahasan RUU menjadi satu arah, tanpa ada timbal balik dari masyarakat.
Selain itu, AJI Indonesia mendorong penguatan etika jurnalis. Sejumlah ketentuan dalam RUU KUHP yang menyentuh persoalan etika, misalnya tentang kabar yang tidak pasti, berlebih-lebihan atau yang tidak lengkap (Pasal 263). Pasal ini berbenturan dengan isi dalam UU Pers (Pasal 15) yang menghendaki agar narasumber yang merasa liputan media tidak benar, menggunakan hak jawabnya. Berdasarkan UU Pers, media wajib membuat hak jawab dari narasumber, sementara RUU KUHP tidak mengakomodasi mekanisme pemberian hak jawab ini.
Pasal lain yang tidak sesuai dengan UU Pers adalah pasal mengenai pemberitaan terhadap suku, golongan atau agama. Dalam menghadapi masalah ini, UU Pers lebih mengedepankan penyelesaian sengketa lewat jalan mediasi (hak jawab atau Dewan Pers) bukan dengan hukuman pidana. Sebab delik pers yang berkaitan dengan masalah ini seharusnya ditempatkan sebagai masalah etika, bukan malah ditempatkan sebagai sebuah kejahatan.@_**
Comments