top of page
Gambar penulisR

Komnas Perempuan-LBH: Kritisi Polisi Terkait Kasus Prostitusi Online yang Jerat VA Sebagai Tersangka


(Foto: Shutterstock)

Koordinatberita.com- Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Thaufiek Zulbahary mengatakan kasus prostitusi online yang melibatkan artis Vanessa Angel seharusnya diproses menggunakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya juga tidak mau tinggal diam bahakan menuding pihak Polda telah melakukan pelanggaran profesi kode etik. Pasalnya, sudah menyebarluaskan identitas sejumlah artis dan model yang diduga terlibat dalam jaringan prostitusi daring (online).

Dilangsir dari CNNIndonesia.com, Thaufiek Zulbahary mengatakan, tidak hanya muncikari dan Vanessa, tapi pemesan jasa prostitusi itu juga bisa dijerat hukum jika terbukti ada indikasi eksploitasi yang dilakukan oleh pemesan tersebut. "Bisa dijerat jika terbukti si pengguna jasa itu melakukan eksploitasi. Jadi bukan hanya di muncikarinya yang kena," ujar Thaufiek kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (16/1). Menurut Thaufiek, indikasi eksploitasi yang bisa saja dilakukan oleh pengguna jasa bisa berupa sexual plessure yang termasuk dalam eksploitasi imateril. Hal tersebut menurutnya adalah sebuah manfaat yang didapatkan pengguna jasa. Terlebih lagi jika terbukti ada tindakan ancaman atau tindakan lain yang sifatnya membujuk korban dalam hal ini Vanessa, untuk mendapatkan manfaat tersebut. Thaufiek menjelaskan indikasi eksploitasi tersebut bersifat sangat luas. Oleh karena itu, dalam hal penerapan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, semua pihak khususnya penyidik harus peka terhadap prinsip asas praduga tidak bersalah dan perspektif gender. Komnas Perempuan menyesalkan penetapan Vanessa sebagai tersangka atas pasal 27 ayat 1 Undang-Undang ITE. Menurutnya, hal tersebut tidak tepat karena dalam penyebaran konten yang menyebabkan Vanessa dijerat UU ITE tersebut, bisa saja terjadi atau dilakukan ketika Vanessa dalam kondisi tertekan. Menurut Thaufiek, persetujuan korban bisa didapatkan saat korban berada dalam kondisi rentan. Ia mengambil contoh korban yang bisa saja setuju karena diiming-imingi sejumlah uang saat korban membutuhkan dana untuk tagihan-tagihan dan kebutuhan tertentu. "Ada yang disebut penggunaan posisi rentan. Penggunaan posisi rentan ini dimanfaatkan oleh pelaku sehingga korban setuju kepada pelaku untuk adanya digunakan eksploitasi," jelasnya. Vanessa resmi ditetapkan menjadi tersangka dengan jeratan pasal 27 ayat 1 Undang-Undang ITE. Hukuman pidana maksimal 6 tahun. Kapolda Jawa TImur Irjen Luki Hermawan mengatakan pertimbangan pasal itu karena Vanessa disebut secara langsung melakukan komunikasi dengan para muncikari untuk foto pribadinya. "Pertimbangannya, yang bersangkutan secara langsung megeksplor dirinya, mengeksploitasi dirinya, langsung dengan muncikari. Ada komunikasi, bahkan ada pengiriman foto pribadinya di-share kepada beberapa tersangka sebelumnya yang kita amankan," kata Luki di Mapolda Jatim, kemarin. Sementara LBH memberikan Kritikan keras kepada Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur yang menyoalkan mebeberkan Artis diduga terlibat Prostitusi, masih dilangsir dari berita CNN Indonesia (Surabaya). Selasa, 15/01/2019.

Tersangka mucikari dari prostitusi daring artis ketika ungkap kasus di Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jawa Timur, 10 Januari 2019. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Polda Jawa Timur dinilai telah melakukan pelanggaran etik, lantaran sudah menyebarluaskan identitas sejumlah artis dan model yang diduga terlibat dalam jaringan prostitusi daring (online). Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Abdul Wachid Habibullah menyebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), identitas saksi itu tak boleh disebarluaskan karena sifatnya yang benar-benar rahasia. "Secara prosedur KUHAP seharusnya polisi tidak boleh membuka identitas para pihak dalam proses penyidikan karena itu sifatnya rahasia," kata Wachid. Selain karena rahasia, identitas terduga juga tak boleh disebarluaskan, karena keberadaan asas praduga tak bersalah yang harus tetap dijunjung tinggi dalam proses penyidikan. "Tidak boleh disebarkan, karena sifatnya rahasia dan azas praduga tidak bersalah," kata Wachid. Begitu juga soal identitas pria penyewa jasa prostitusi yang tak turut disebarkan polisi. Menurut Wachid seluruh pihak yang berkaitan dalam kasus ini semestinya tak boleh disebarkan secara lugas, sebab masih dalam proses penyidikan. "Seharusnya semuanya, semua pihak identitasnya tidak boleh disebarluaskan dalam tingkat penyidikan," ucapnya. Jika telah menyebarluaskan nama-nama artis dan model yang diduga terlibat prostitusi online tersebut, kata Wachid, kepolisian bisa saja dilaporkan ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dengan dugaan pelanggaran etik. "Polisi yang diduga melakukan pelanggaran terkait profesionalisme dalam melakukan penanganan perkara, maka bisa dilaporkan melanggar kode etik dan profesional kepolisian di bagian Propam," katanya, Hukumannya, kata Wachid, polisi yang diduga melanggar kode etik tersebut bisa saja dijatuhi berbagai sanksi, mulai dari teguran, hingga diberhentikan dari instansinya. Sebelumnya polisi menyatakan jika ada 45 artis dan 100 model majalah dewasa yang diduga terlibat dalam kasus prostitusi online artis yang sebelumnya menyeret Vanessa Angel dan Avriellya Shaqqilla. Namun dari sejumlah artis dan model itu, polisi baru memanggil enam selebritas yang diduga juga terlibat dalam prostitusi online. Enam selebritas itu berinisial ML, BS, AC, RF, TP, dan FG. Namun, dalam penyebutannya, polisi membeberkan nama lengkap ke enam artis tersebut, tanpa tedeng aling-aling menyingkatnya dengan inisial.@_Koordinatberita.com


37 tampilan
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page