“Debat Presiden, Bisa Contoh Debat Parlemen di Inggris”
AP Photo/Mark Duffy Debat politik di Parlemen Inggris adalah tradisi kuna yang telah ada sejak abad ke-13,(Dok:tirto.id) Koordinatberita.com- Debat Pilpres 2019 pertama yang diadakan Kamis, 17 Januari 2019 lalu menjadi debat yang normatif dan miskin gagasan baru. Bahkan beberapa kali kedua paslon memberikan jawaban dan tanggapan yang tak nyambung dari tema pokok debat soal penegakan hukum, HAM, korupsi, dan terorisme. Dan mungkin Debat Presiden, Bisa mencontoh Debat Parlemen di Inggris seperti Pemimpin partai buruh Jeremy Corbyn berbicara di House of Commons, London, Inggris (15/1/19). Ketidak sinkronan antara pertanyaan dan jawaban misalnya terpantau pada segmen kelima. Pada segmen tanya-jawab antar paslon itu capres nomor 2, Prabowo Subianto, mendapat giliran memberikan pertanyaan tentang korupsi dan terorisme. Alih-alih bertanya soal masalah korupsi, Prabowo justru bertanya soal konflik kepentingan pejabat di era Presiden Joko Widodo. “Apakah Bapak bisa meyakini dan menjamin bahwa pejabat-pejabat yang bekerja untuk Bapak benar-benar tidak memiliki kepentingan pribadi, kelompok atau bisnis?” Prabowo bahkan menambahkan hal yang makin tidak berkorelasi, yakni soal kebijakan impor beras, gula, dan komoditas lain yang merugikan petani. Joko Widodo tidak menjawab pertanyaan itu dengan tegas. Ia justru menantang Prabowo untuk melaporkan ke polisi bila menemukan kasus seperti itu. Kehambaran lain dari debat Pilpres kemarin juga datang dari cawapres nomor 1, Ma’ruf Amin. Ia sangat irit bicara dan lebih banyak tersenyum. Di segmen kedua, misalnya, ketika Joko Widodo selesai bicara dan waktu masih tersisa 28 detik, tak ada tambahan apapun dari mantan Rais Aam PBNU itu. Ma’ruf hanya berujar singkat, "Cukup. Saya mendukung pernyataan Pak Jokowi" ketika ditanya moderator Ira Koesno. Ma’ruf baru memberi pernyataan panjang setelah debat berlangsung lebih dari satu jam saat membahas tema terorisme. Ia berbicara 132 kata dalam waktu 2 menit. Dari olah data transkrip debat yang dilakukan Bahasa Kita, sebuah laman teknologi dan analisis suara khusus bahasa Indonesia, didapat hasil sebanyak 5744 kata menghambur dari mulut keempat kandidat selama debat berlangsung. Dari keempatnya, persentase kata yang diucap Ma’ruf adalah yang paling kecil, hanya 5,2 persen. Prabowo punya persentase tertinggi sebesar 40,6 persen, disusul Joko Widodo dengan 39,4 persen, dan Sandiaga dengan 14,8 persen. Lain itu, debat juga diisi dengan jual-beli serangan di antara Joko Widodo dan Prabowo. Itu pun lagi-lagi diwarnai dengan pernyataan-pernyataan yang melebar dari tema pokok. Kedua paslon pun lebih terlihat sebagai penghafal karena kisi-kisi pertanyaan debat telah dibocorkan sebelumnya. Karenanya, wajar jika Debat Pilpres pertama kemarin dinilai hambar dan kaku. Suatu sesi debat yang bisa menjadi pembanding terjadi sehari sebelumnya di Parlemen Inggris. Itu adalah debat sengit antara Perdana Menteri Inggris Theresa May dan Pemimpin Oposisi Jeremy Corbyn selama sesi Prime Minister’s Questions dalam House of Commons pada Rabu (16/1/2019) kemarin. Debat itu terjadi dalam konteks kekalahan telak Pemerintah Inggris dalam pemungutan suara terkait kesepakatan Brexit pada Selasa (15/1/2019) malam. Kala itu PM May kalah sebesar 230 suara, dengan rincian 432 anggota parlemen menolak rencana Brexit dan 202 anggota parlemen mendukung rencana Inggris keluar dari Uni Eropa. Itu adalah kekalahan terbesar yang dialami Pemerintah Inggris dalam sejarah demokrasi modern Inggris sejak tahun 1924. Atas hasil itu, pemimpin Partai Buruh dan Oposisi Jeremy Corbyn lantas menyerukan pengajuan mosi tidak percaya kepada PM May. Dalam sesi Prime Minister’s Questions itulah—yang mirip rapat dengar pendapat di DPR RI—PM May berdebat dengan kelompok oposisi untuk mempertahankan kebijakan Brexit dan pemerintahannya. Menghadapi mosi tidak percaya yang diarahkan padanya, PM May menegaskan bahwa pemerintahannya akan memastikan Brexit dilaksanakan sebagaimana hasil referendum 2016 dan mengusahakan negosiasi yang adil dengan Uni Eropa. “Itu berarti mengakhiri pergerakan bebas, mendapatkan kesepakatan yang lebih adil bagi petani dan nelayan, membuka peluang baru untuk berdagang dengan seluruh dunia dan menjaga hubungan baik dengan tetangga kita di Eropa,” ujarnya. Corbyn langsung menyerang argumen itu dengan mengetengahkan kebuntuan negosiasi antara pemerintah dan Uni Eropa. Ia juga mengungkit bahwa tindakannya itu berarti penyangkalan terhadap hasil voting Parlemen sehari sebelumnya. Dengan sengit Corbyn mencecar, “Dapatkah Perdana Menteri sekarang meyakinkan Parlemen, kalangan pebisnis dan negara serta mengkonfirmasi bahwa Pemerintah memang tidak dapat membuat kesepakatan?” Tak habis di situ, Corbyn masih mendesak dengan pemborosan 4,2 miliar poundsterling uang negara untuk negosiasi-negosiasi tanpa hasil kongkret yang dilakukan PM May. Sejumlah kegagalan pemerintahan Partai Konservatif sejak 2010: angka kemiskinan yang menyentuh 4 juta orang, pemotongan dana pendidikan sebesar 7 miliar poundsterling, pemotongan dana bantuan siswa dan dana pelatihan kerja masing-masing sebesar 8% dan 45%. PM May menjawab tekanan itu dengan membentangkan pencapaian-pencapaian pemerintahannya. Ia membentangkan data 1 juta warga yang berhasil dientaskan dari jurang kemiskinan absolut. Di bidang pendidikan pemerintah telah membuka ratusan sekolah gratis dan mereformasi kurikulum. Ia juga mengklaim telah menyediakan 3,4 juta lebih lapangan pekerjaan. “Itulah yang Partai Konservatif lakukan untuk rakyat negara ini. Lalu, apa yang dicapai oleh Partai Buruh? Kita melihat 1.000 miliar pounsterling lebih banyak pinjaman dan pajak, yang artinya tiap rumah tangga di Inggris menanggung 35.000 poundsterling,” kata PM May menyerang balik. Data dilawan data. Nisbi minim lontaran-lontaran yang melebar dari agenda debat. Serangan-serangan langsung kepada masing-masing persona bukannya tak ada, namun semua dilakukan dengan tetap berpijak pada data dan fakta. Selama debat berlangsung, Ketua Parlemen—yang berfungsi mengatur debat dan mendisiplinkan anggota Parlemen—tak banyak menginterupsi selain hanya memerintahkan anggotanya untuk tertib. Semuanya dapat disaksikan dalam video debat yang rilis di kanal Youtube resmi Parlemen Inggris. Debat antara PM Theresa May dan Pemimpin Oposisi Jeremy Corbyn bisa menjadi cerminan bagaimana debat politik yang dinamis, lugas, konkret, dan substansial. Kematangan debat politik di Parlemen Inggris yang demikian itu terbangun dari tradisi yang telah berlangsung berabad-abad. Itulah yang membedakan dengan tradisi debat politik di Indonesia yang nisbi baru berkembang. Debat pilpres saja praktis baru diselenggarakan empat kali, terhitung sejak pilpres langsung pertama pada 2004. Tradisi Debat Parlemen Inggris Parlemen Kerajaan Inggris mulanya adalah dewan penasehat raja yang terbentuk pada 1215 usai penandatanganan Magna Carta. Majelis ini pertama kali disebut sebagai “Parlemen” pada 1236. Parlemen ini diisi oleh para priyayi tinggi dan para uskup yang ditunjuk oleh raja. Laman History menyebut majelis itu lalu berkembang menjadi parlemen bikameral sejak 1295. Saat itu para tuan tanah dan priyayi rendah dari kota-kota di seantero Britania mulai mengirim perwakilannya yang membelah Parlemen jadi dua. Para priyayi tinggi dan uskup duduk bersama dalam House of Lord, sementara para tuan tanah dan perwakilan kota membentuk House of Commons. Seiring sejarah, House of Commons lalu berevolusi menjadi badan legislasi yang lebih dominan. Hingga kini sebutan Parlemen Inggris selalu mengacu pada House of Commons. Dalam House of Commons inilah undang-undang dirancang dan disahkan. Ensiklopedia Britannica menyebut bahwa hampir semua legislasi berasal dari partai mayoritas di House of Commons yang membentuk pemerintahan dan kabinet. Pemerintah bertanggungjawab mengimplementasikan program legislatif yang diperjuangkan di majelis ini. Untuk mengawasi pemerintah, House of Commons punya sesi khusus setiap Rabu yang disebut Prime Minister’s Questions. Selama sekira setengah jam perdana menteri berkewajiban menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para anggota Parlemen. Karenanya, sesi ini sering kali menjadi ajang pertarungan politik di antara perdana menteri dan partai pendukung berhadapan dengan partai opisisi. Dari tradisi inilah berkembang sistem debat yang secara global disebut British Parliamentary Style. Fundamen sistem dan aturan debat politik di Parlemen Inggris berkembang sejak mula Parlemen terbentuk. Pada 1583 sebuah formulasi aturan debat disusun oleh Sir Thomas Smith. Tetapi, sistem yang berkembang dan berlaku hingga sekarang berasal dari dokumen Lex Parliamentaria yang terbit pada 1689. Sistem kuna itu mencakup aturan-aturan seperti kewajiban mendiskusikan satu topik dalam satu waktu, kewajiban ketua parlemen untuk mengakomodasi pendapat oposisi, larangan serangan pribadi dan perilaku tak senonoh, serta batasan pada pertanyaan-pertanyaan substansial. Sesi Prime Minister’s Questions tiap Rabu biasa dimulai dari pertanyaan seputar kegiatan atau agenda perdana menteri. Perdana menteri akan langsung menjawab tiap pertanyaan yang diajukan anggota parlemen. Siapa-siapa yang mendapat jatah bertanya ditentukan oleh ketua parlemen. Biasanya debat mulai terbangun pada pertanyaan kedua yang datang dari pemimpin kelompok oposisi. Pertanyaan bisa tentang apa saja terkait kebijakan pemerintah atau isu-isu politik aktual. Laman warta BBC menulis, “Pemimpin oposisi bisa menindaklanjuti pertanyaan ini atau bisa juga mengajukan pertanyaan dengan topik-topik lain. Pemimpin oposisi merupakan satu-satunya anggota parlemen yang dibolehkan mengajukan pertanyaan lanjutan dengan topik yang sama (follow-up questions) kepada perdana menteri.” Kini British Parliamentary Style telah mendunia. Ia menyebar dan diaplikasikan di negara-negara persemakmuran atau bekas koloni Inggris. Sistem debat itu juga menjadi standar bagi kompetisi debat antarpelajar dan mahasiswa internasional. Bagi publik Inggris debat-debat Parlemen menjadi salah satu mata acara yang populer dan ditunggu-tunggu. Kepopuleran ini tak lain berkat radio dan televisi yang menyiarkan debat-debat dalam Parlemen secara publik. Usaha menyiarkan Parlemen sudah dimulai sejak British Broadcasting Company (BBC) berdiri pada 1922. Ide tentang itu datang langsung dari direktur pertama BBC, John Reith. Namun, hingga 1930-an proposalnya selalu ditolak pemerintah. Izin menyiarkan sidang langsung dari House of Commons baru diberikan secara terbatas pada 1968. Tapi, tak ada kejelasan setelah itu. Sebuah percobaan siaran selama sebulan lalu dilakukan lagi pada 1975. Siaran itu ternyata sangat diminati publik Inggris, terutama sesi Prime Minister’s Question. Menilik hasil positif ini, Parlemen lalu memberikan ijin untuk program siaran permanen. “Pada 3 April 1978 siaran permanen dari House of Commons dimulai dengan sesi tanya-jawab bersama Sekretaris Negara Wales tentang bahasa Welsh. House of Lords mulai mengudara keesokan harinya,” tulis laman resmi UK Parliament. Sementara itu, rencana penyiaran melalui televisi mulai dibahas di House of Commons pada Oktober 1972. Kala itu opini anggota Parlemen terpecah. Satu kubu mendukung penyiaran televisi karena akan membuat Parlemen jadi lebih merakyat. Kubu lainnya justru menolak karena khawatir akan menurunkan wibawa dan prestise Parlemen. Jalan akhirnya terbuka pada 8 Desember 1983 kala House of Lords mengizinkan majelisnya disiarkan televisi. Meski izin telah ada, siaran percobaannya baru dilakukan pada 23 Januari 1985. Kala itu BBC menyiarkan kritik Earl of Stockton terhadap kebijakan ekonomi Pemerintah. House of Commons sendiri baru membolehkan kamera masuk ke ruang sidangnya pada 1988. Siaran percobaan lalu dilakukan selama enam bulan. Dua tahun setelahnya, anggota House of Commons setuju sidang-sidang mereka menjadi program permanen di BBC.@_tirto.id/Koordinatberita.com. (Penulis: Fadrik Aziz Firdausi)